MASA PERINTISAN (Tahun 1922 – 1952)
TAHUN 1922
Cikal bakal Setia Hati Terate adalah Setia Hati Pemuda Sport Club,
perguruan pencak silat yang didirikan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo (1890
- 1952), warga Desa Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun,
pada tahun 1922.
Beliau merupakan murid dari Ki Ngabehi Soerodiwirjo (1869-1944), pendiri aliran pencak silat Setia
Hati (SH – lebih dikenal SH Winongo), yang berpusat di Desa Winongo,
Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun (sampai saat ini kegiatan SH Winongo
masih eksis dan seluruh kegiatannya dipusatkan di rumah/panti
peninggalan Ki Ngabehi Soerdiwirjo).
Desa Pilangbango pada era
pemerintahan Kolonial Belanda merupakan sebuah desa yang berada di
wilayah Kecamatan Wungu, Madiun (sekarang Desa Pilangbango berubah
status menjadi kelurahan, masuk wilayah Kecamatan Kartoharjo).
Pada
awal perintisan SH PSC hanya berupa latihan pencak yang diikuti oleh
sejumlah pemuda dan teman seperjuangan Pak Hardjo Oetomo. Berbekal ilmu
pencak silat Djojo Gendilo Ciptomuljo, ciptaan Ki Ngabehi Soerodiwirjo
saat beliau berguru di SH Winongo (Bapak Hardjo Oetomo dikecer di SH
Winongo tahun 1917), beliau mengumpulkan pemuda setempat untuk
digembleng ilmu kanuragan. Latihan pencak silat yang digelar Pak Hardjo
Oetomo saat itu secara implisit (sembunyi-sembunyi) diformat sebagai
ajang pembekalan (basis) pemuda untuk melawan penjajahan Belanda.
(berdasar dokumen yang dimiliki KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono
Adinagoro, S.E.).
Jiwa patriotisme yng tertanam di dalam dada Pak
Hardjo Oetomo tidak rela tanah air tercinta dijajah bangsa lain. Demi
memenuhi dharma bhakti kepada bumi pertiwi. Setelah membuka tempat
latihan di Pilangbango, beliau juga membuka tempat latihan pencak silat
di daerah lain, seperti Loceret, Nganjuk, Pare, kediri dan beberapa kota
lain di Jawa Timur. Beliau membuka latihan pencak silat dengan niat
mulia. Yakni mengembangkan ilmu pencak SH ke masyarakat kecil (rakyat
jelata) dan para pejuang perintis kemerdekaan. Hal ini disebabkan adanya
kecenderungan bahwa ilmu pencak SH hanya diajarkan kepada kaum
bangsawan dan pangreh projo (pegawai pemerintahan Belanda)saja, seperti
kerabat Bupati, Wedana, Mantri Polisi dan masyarakat berdarah biru (kaum
bangsawan- dalam stratafikasi sosial masyarakat Jawa, komunitas kaum
bangsawan ini biasanya bergelar Raden (R), Raden Mas (RM), Raden Ajeng
(RA), Raden Bagus (RB) di depan namanya ). (berdasar sumber dari catatan
pribadi (buku harian) yang ditulis sendiri oleh Bapak Hardjo Oetomo)
Sejumlah dokumen menyebutkan, terdapat beberapa alasan mendasar yang
memantik niat Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka tempat ltihan dan
mendirikan perguruan pencak silat baru. Yakni terjadi silang pendapat
yang cukup prinsip antara beliau dengan Ki Ngabehi Soerodiwirjo.
Selain alasan tersebut, Ki Hadjar Hardjo Oetomo tidak sependapat jika
ilmu SH diajarkan kepada anak-anak Belanda (sinyo). Sebab hal itu
bertentangan dengan prinsip beliau, yang ingin menjadikan pencak silat,
sebagai basis pelatihan pemuda pribumi dalam rangka menyusun kekuatan
melawan penjajah Belanda.
Ditengarahi, lantaran keberanian Ki Hadjar
Hardjo Oetomo membuka tempat latihan baru ini, beliau dan muridnya
sempat diolok-olok sebagai kelompok “SH Murtad”, artinya tidak setia
(ingkar).
TAHUN 1924
Bapak Hardjo Oetomo baru memberikan nama
latihan pencak silat yang didirikan itu pada tahun 1924, dengan nama
Setia Hati Pemuda Sport Club. Nama itu disingkat oleh beliau sendiri
dengan singkatan SH PSC. Hal itu terjadi setelah beliau bertemu dan
berdiskusi dengan Amin Kuseri, seorang guru Sekolah Rakyat (SR) di Pare,
Kediri. Di tempat ini, beliau juga sempat membuka tempat latihan.
Dalam buku hariannya, beliau menandaskan sekalipun pemberian nama
perguruan pencak silat SH PSC terjadi di Pare, kediri, pusatnya tetap di
Pilangbango, Madiun, kediaman beliau.
Tradisi komunikasi sosial
yang dikembangkan di awal berdirinya SH PSC adalah “paguron” (perguruan
pencak silat), dengan sistem kepemimpinan yang menempatkan sosok patron
(tokoh) atau guru berada pada posisi puncak (pucuk pimpinan).
Kegiatan SH PSC diawasi dengan ketat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda
karena mengajarkan pencak silat, walau latihan pencak silat sudah
dilakukan secara sembunyi –sembunyi.
Tahun 1924 ini pula Bapak
Hardjo Oetomo ditangkap oleh Belanda karena melakukan gerakan menantang
Pemerintahan Kolonil Belanda di Madiun dan beliau dihukum selama tiga
bulan. Hukuman itu dijalankan di penjara Talang, Jember. (catatan
singkat sejarah perjuangan yang ditulis oleh istri beliau Ibu Inem
Hardjo Oetomo).
Berdasar catatan tersebut, berarti beliau ditangkap dan dipenjara Kolonialis setelah mendirikan SH PSC di Pare, Kediri.
Setelah keluar dari penjara talamng, jember, ternyata semangat Pk
Hardjo Oetomo dalam gerkan perintisan kemerdekaan semakin berkobar.
Aksinya ini menjadikan pemerintah Kolonial Belanda semakin berang.
Tahun 1925, Bapak Hardjo Oetomo ditangkap lagi dan dipenjara selama 6
bulan. Istri beliau saat itu juga ikut ditangkap dan dibawa ke Bereau
Velpolitie. Tapi dipulangkan lagi setelah menjalani interogasi dan
menandatangani berkas perkara pemeriksaan.
Selang tiga bulan berda
di penjara Pemerintahan Belanda, beliau dipanggil dan dibawa ke
pengadilan (landraad) Belanda dengan tuduhan merencanakan aksi pemogokan
dan menentang kebijakan pemerintah kolonial di dalam penjara. Sidang
majlis hakim Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan Bapak Hardjo Oetomo
bersalah divonis hukuman penjara selama 5 tahun.
Vonis penjara 5
tahun itu dijalankan setelah Bapak hardjo Oetomo menyelesaikan masa
hukuman enam bulan di tlang, jember. Berdasarkan putusan itu pula beliau
dipindahkan dari penjara talang, jember ke penjara Cipinang, Jakarta
Timur.
Dua tahun berada dalam penjara Cipinang, Bapak Hardjo Oetomo,
kembli melakukan gerakan melawan kebijakan penjajah. Karenanya
Pemerintah Kolonial belanda mengambil langkah mengasingkan beliau ke
penjara Padang Panjang, Sumatera Barat.
Catatan itu juga
menyebutkan, beliau sebenarnya sudah masuk dalam deretan nama-nama
pejuang Perintis Kemerdekaan RI yang akan dibuang ke Boven, Digul. Tapi
hukuman itu urung dijalankan karena beliau sudah menjalani hukuman
selama 3 tahun di penjara Padang Panjang.
Catatan ringkas perjalanan
SH Terate yang dibuat oleh bapak Jendro Dharsono, menyebutkan sekembali
dari penjara Padang Panjang kehidupan Bapak Hardjo Oetomo cukup
menderita. Untuk menopang kehidupan rumah tangga, beliau sempat
berganti-ganti profesi. Antar lain menjadi mandor pabrik tenun, bahkan
pernah menjadi wartawan dan menerbitkan media massa (surat kabar/koran).
Surat kabar yang didirikan oleh Bapak Hardjo Oetomo berbentuk mingguan
(tabloid) yang diberi nama “Keinsyafan Rakjat”. Di media masaa ini
beliau menjabat sebagai Pimpinan redaksi.
Tetapi tidak lama
kemudian, mingguan Keinsyafan Rakjat dibredel (dilarang terbit) oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Alasannya media massa tersebut dijadikan
alat propaganda pergerakan menentang penjajahan di tanah air tercinta.
Setelah upaya pembredelan tabloid tersebut, gerak gerik Bapak Hardjo
Oetomo terus diawasi. Bahkan untuk memperketat pengawasan, pemerintah
Kolonial Belanda mendirikn pos penjagaan di depan rumah beliau di
Pilangbango.
Memasuki tahun 1938, kondisi fisik Bapak Hardjo Oetomo (
+ beliau berusia 48 tahun) mulai menurun. Beliau menderita sakit stroke
dan separo badannya tak bisa digerakkan. Karena keterbatasan itu,
kegiatan SH PSC diamanatkan kepada sejumlah muridnya. Konsep
kepemimpinan kolektif mulai dikembangkan, guna mengisi kevakuman posisi
pimpinan.
TAHUN 1942
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942, SH
PSC berganti nama menjadi Setia Hati Terate (SH Terate). Nama ini
merupakan usulan Soeratno Sorengpati, tokoh perintis kemerdekaan daei
Indonesia Muda, salah seorang siswa SH Terate saat itu. Salah satu
alasan yang mendasari pergantian nama itu, adalah agar SH PSC tidak lagi
dicap sebagai pemberontak seperti zaman penjajahan Belanda.
Sekalipun sudah berubah nama menjadi SH Terate, konsep komunikasi yng
dikembangkan di kalangan warga SH Terate, pada era itu masih tetap
memakai konsep “peguron” (perguruan) pencak silat. Hirarki kepemimpinan
masih dipegang guru, dalam hal ini Bapak Hardjo Oetomo.
TAHUN 1948
Atas izin Bapak Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar konferensi
(Musyawarah Antar Warga SH Terate) di kediaman beliau di Pilangbango,
Madiun. Sejumlah murid beliau tampil ke depan. Antara lain Bapak Soetomo
Mangkoedjojo, Bapak Jendro Dharsono, Bapak Soemadji, Bapak Badini,
Bapak Moch. Irsyad. Saat itu Bapak Hardjo Oetomo dalam keadaan sakit
(separo badannya tidak dapat digerakkan).
Musyawarah tersebut
melahirkan mufakat, bahwa kegiatan SH Terate harus tetap berjalan dan
berkembang. Karena Bapak Hardjo Oetomo tidak dapat melakukan aktivitas,
kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid-muridnya.
Kemudian digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni,
dari sistem “Perguruan pencak Silat” ke sistem Organisasi Persaudaraan.
Pada tahun 1950 Bapak Hardjo Oetomo mendapat pengakuan dan penghargaan
dari pemerintah RI sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI. Penghargaan
ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda.
TAHUN 1952
Pada hari Sabtu, tanggal 12 April 1952 Bapak Hardjo Oetomo wafat dalam
usia + 62 tahun, dan jenazahmya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum
(TPU) Kelurahan Pilangbango, Madiun.
Bapak Hardjo Oetomo
meninggalkan seorang istri, Ny. Inem dan dua orang putra yang diberi
nama Harsono dan Harsini. Bapak Harsono juga merupakan warga SH Terate
terakhir beliau aktif di SH Terate Cabang Surabaya menjabat sebagai
anggota Dewan Pertimbangan Cabang. Beliau wafat tahun 2000 di rumah
puteri kemenakan beliau di Jl. Tambak Mayor Surabaya. Saat pelepasan
jenazah beliau diantar oleh Mas Aliadi Ika (Ketua SH Terate Cab.
Surabaya) dan keberangkatan jenazah ke Madiun diiringi Warga SH Terate,
sesampai di Pilangbango, jenazah beliau diterima oleh Mas Tarmadji
selaku Ketua Umum Pusat, yang selanjutnya dimakamkan di pemakaman yang
sama dengan ayahanda beliau. Sedang Ibu Harsini bersuamikan Warga SH
Terate yang bernama Bapak Gunawan Pamudji, (beliau berdua juga sudah
wafat).
Keberadaan Bapak Hardjo Oetomo sebagai pendiri, sekaligus
pelatih atau guru pencak silat, menduduki posisi patron. Karena posisi
beliau ini, beliau disegani dan sangat dihormati oleh murid-muridnya.
Sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kepada beliau murid-muridnya
memberi gelar “Ki Hadjar” (diambil dari akar kata dalam bahasa Jawa
“ajar” yang artinya pelatih, pendidik, pengajar). Dalam perkembangannya,
nama pendiri SH Terate disebut lengkap dengan gelarnya, yakni Ki Hadjar
Hardjo Oetomo.
MASA TRANSISI (Tahun 1953 – 1980)
Pasca wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo, kegiatan SH Terate diteruskan
para muridnya. Jumlah anggota yang ikut bergabung, satu demi satu mulai
bertambah searah perjalanan waktu.
Era kemerdekaan bergulir pelan
tapi pasti dan kegiatan SH Terate yang pada masa Kolonial diawasi dan
dibatasi, telah berubah menjadi leluasa dan bebas.
Ruang gerak warga masyarakat dalam mengembangkan kreativitas, terbuka
lebar. Belenggu kolonialisme tak ada lagi, berganti era harapan baru
untuk berjuang demi mengisi kemerdekaan.
Sejalan dengan itu, mulai
muncul pemikiran tentang format penataan program kegiatan di dalam SH
Terate. Posisi “guru” atau pemimpin SH Terate yang vakum setelah Ki
Hadjar Hardjo Oetomo wafat, sudah selayaknya diisi.
Gagasan
perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate yang pernah dibicarakan
dalam konferensi di Pilangbango tahun 1948, semakin mengerucut.
Puncaknya pada tanggal 13 September 1953, dengan digelarnya Konferensi/
Rapat Permusyawaratan Warga SH Terate di Jl. Diponegoro No. 45 Madiun,
kediaman Bapak Soetomo Mangkoedjojo (1908-1975).
Rapat Permusyawaratan Warga/ Konferensi SH Terate saat itu menghasilkan sejumlah keputusan penting, antara lain :
1. Menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) SH Terate yang pertama
2. Menetapkan susunan Pengurus SH Terate Pusat di Madiun, yaitu :
Ketua : R.M. Soetomo Mangkoedjojo
Penulis I : R. Soemadji
Penulis II : S. Hadi Soebroto
Bendahara : Bambang Soedarsono
Pembantu : Karsono dan Harsono
Pelatih : Santoso dan Badini
3. Untuk menghargai jasa Bapak Hardjo Oetomo yang telah berjuang
mendirikan perguruan pencak silat ini, SH Terate memberikan gelar
kehormatan kepada beliau dengan Ki Hadjar.
4. Istri Bapak Hardjo Oetomo, Ibu Inem Hardjo Oetomo diposisikan sebagai Ibu SH Terate.
5. Sementara itu untuk mengefektifkan program latihan pencak SH Terate, Bapak Santoso dan Pak Badini ditunjuk sebagai pelatih.
Mengapa langkah pembaharuan itu ditempuh? Alasannya pertama agar SH
Terate mempu mensejajarkan kiprahnya dengan perubahan zaman dan
pergeseran nilai-nilai komunitas yang melingkupinya. Dengan adanya
perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate dari “paguron” menjadi
organisasi yang bertumpu pada sistem “persaudaraan”, berarti gaung
pembaharuan telah diluncurkan dan proses perubahan telah digelar. Yakni
perubahan roh organisasi dari sistem tradisional ke sistem organisasi
modern. Dengan konsep ini, kelak SH Terate diharapkan mampu menjawab
tantangan kehidupan yang semakin kompleks.
Alasan kedua; agar SH
Terate tidak dikuasai dan bergantung pada perorangan saja, sehingga
kelangsungan hidup organisasi dan kelestariannya lebih terjamin.
Meski roh organisasi sudah bergeser dari perguruan pencak silat berubah
menjadi organisasi persaudaraan, namun dalam konsepsi keilmuan
(idealisme), tradisi paguron masih tetap dipertahankan. Ini mengingat
bahwa SH Terate lahir dari akar budaya pencak silat yang tetap ngugemi
prinsip-prinsip patrialisme.
Lain kata konsepsi demokratisasi lebih
dikedepankan dalam penataan organisasi. Sementara dalam prosesi
pewarisan keilmuan, tradisi paguron atau perguruan pencak silat masih
dipegang teguh oleh tokoh-tokoh SH Terate. Dan ini harus diakui terus
dipertahankan turun-temurun, hingga era kepemimpinan RM Imam
Koessoepangat dan era kepemimpinan KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono
Adinagoro, S.E. Sebab berdasarkan kajian empiris, tradisi paguron ini
justru merupakan roh yang memberikan kekuatan nilai-nilai persaudaraan
dan ke-Setia Hati-an (ke-SH-an).
Terpilihnya Bapak Soetomo
Mangkoedjojo sebagai Ketua Pusat SH Terate pada periode ini, merupakan
pilihan yang tepat. Pak Tomo (panggilan akrab beliau) dikenal sebagai
tokoh yang cukup arif dan bijaksana. Sosoknya tinggi, tegap dan
berwibawa. Beliau juga setia dan tegas dalam mengambil keputusan, serta
teguh dalam memegang prinsip. Satu lagi pandangannya cukup luas dan
terbuka. Dibalik sosoknya yang tinggi dan tegap tersembunyi budi
pekerti/ kesantunan beliau terhadap sesama.
TAHUN 1956
Di tahun
1956 dikarenakan Bapak Soetomo Mangkoedjojo pindah tugas dari BRI (Bank
Rakyat Indonesia) Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin), jabatan
Ketua SH Terate digantikan Bapak Moch. Irsyad. Sedangkan jabatan
sekretaris dipegang oleh Bapak Soedarsono.
Pak Moch. Irsyad dikenal
sebagai pendekar yang menguasai teknik beladiri yang cukup matang. Pada
era kepemimpinan beliau ini, dilakukan penggalian teknik dan akurasi
gerakan pencak silat. Gerakan, terutama pada serangan yang menurut
keyakinannya lemah, dicoba untuk lebih diakurasikan.
Pendalaman,
penelitian dan kajian yang dilakukan Pak Moch. Irsyad ini melahirkan
sejumlah gerakan teknik yng kemudian dipakai untuk mengakurasikan
bebrapa gerakan jurus SH Terate.
Pada saat Pak Moch. Irsyad menjadi
Ketua Pusat, setelah beliau melakukan uji materi dan pendalaman akurasi
jurus, lahir sejumlah temuan :
1. Beberapa gerakan jurus, sebut
misalnya Jurus I sampai dengan Jurus IV, diakurasikan. Terutama pada
gerakan serangan. Sebelumnya pukulan pada Jurus I (hitungan ke-4) adalah
mbandul (pukulan menggunakan punggung tangan) diakurasikan menjadi
menohok (upper cut). Kemudian gerakan colok yang semula hanya dengan dua
jari (jari telunjuk dan jari tengah), diakurasikan dengan lima jari
yang dirapatkan hingga makin bertenaga. Jurus 5 yang awalnya setelah
pasang hanya gerakan tangkisan kaki, ditambah dengan gerakan tangkis
pukul, gerakan jurus lain yang disempurnakan adalah Jurus 8, yaitu
dengan perubahan pasangan nangkis dan tendangan dua kali.
2.
Sementara untuk mendasari gerakan siswa SH Terate Pak Moch. Irsyad
menciptakan gerakan senam dari senam 1 (satu) hingga senam 90 (sembilan
puluh). Gerakan senam merupakan gerakan penggalan-penggalan jurus, untuk
mendasari siswa mempermudah menggerakan dan menghafalkan jurus.
3.
Pada era kepemimpinan Pak Moch. Irsyad ini juga lahir keputusan penting
lainnya. Yakni, penciptaan Kode Pendekar SH Terate. Salah satu alasan
penciptaan kode pendekar, karena jumlah Warga SH Terate saat itu sudah
mulai banyak, sehingga di antara Warga mulai tidak saling mengenal
karena beda tempat latihan dan pengesahan.
Dengan Kode pendekar SH
Terate ini, seorang warga bisa melakukan deteksi secara akurat, apakah
orang yang baru dikenal itu Warga SH Terate atau bukan. Kode Pendekar SH
Terate yang diciptakan Pak Moch. Irsyad sampai sekarang masih digunakan
dan diberikan kepada anggota SH Terate yang sudah disyahkan menjadi
Warga.
Penciptaan senam dasar dan penyempurnaan jurus ini juga
diyakini agar SH Terate tidak diperolok lagi sebagai SH Murtad oleh
sekelompok orang yang merasa memiliki atau merasa sabagai ahli waris
(trah) SH yang didirikan oleh Ki Ngabehi Soerodiwirjo. Salah seorang
murid pak Moch. Irsyad yang langsung menerima pelajaran senam 1 sampai
90 dan pendalaman akurasi jurus adalah RM. Imam Koesoepangat
(1938-1987).
RM Imam Koesoepangat yang lebih akrab dengan panggilan
Mas Imam, mulai berlatih pencak silat di SH Terate tahun 1953 (saat
berusia + 16 tahun). Selama lima tahun (dari tahun 1953-1958) beliau
berlatih di bawah asuhan langsung Pak Moch. Irsyad (murid Ki Hadjar
Hardjo Oetomo) dan menerima langsung pendalaman teknik dan akurasi jurus
serta senam dasar. Mas Imam disyahkan menjadi pendekar SH Terate
Tingkat I pada tahun 1958 ketika berusia 20 tahun bersama Bapak
Koeswanto, B.A., dan Bapak Harsanto. Pengesahan dilaksanakan di Oro-oro
Ombo, Madiun kediaman Bapak Santoso, Dewan Pengesah Bapak Soetomo
Mangkoedjojo.
Dalam perkembangannya, anak didik langsung Pak Moch. Irsyad yang satu ini, muncul sebagai tokoh yang cukup diperhitungkan.
TAHUN 1959
Tahun 1959, RM Imam Koesoepangat mulai melatih di Paviliun Kabupaten
Madiun. Kediaman beliau terletak bersebelahan dengan Pendapa Kabupaten
Madiun. Beliau adalah sosok pendekar yang santun dan berwibawa. Jika
melatih siswanya, beliau disiplin, keras, dan tegas. Ucapan dan
perilakunya konsisten, jika bilang A maka yang beliau lakukan juga A.
Akan tetapi dibalik sikap keras beliau dalam melatih, beliau adalah
sosok yang santun dan lembah manah, jika berbicara kepada murid-muridnya
beliau memakai bahasa Jawa halus (boso kromo).
Selama Mas Imam
melatih pencak silat, materi senam dan jurus yang diajarkan beliau
adalah senam dan jurus yang sampai sekarang diajarkan kepada siswa SH
Terate yangmana beliau pelajari dari Pak Moch. Irsyad. Dalam
perkembangannya senam dan akurasi jurus yang pada era Pak Moch. Irsyad
akhirnya dijadikan gerakan baku pencak silat SH Terate.
TAHUN 1960
Pada kisaran tahun 1960 Bapak Moch. Irsyad mengakhiri masa jabatannya
sebagai Ketua SH Terate dan pindah tempat tinggal ke Bandung. Sebagai
gantinya Bapak Santoso diangkat menjadi Ketua Pusat SH Terate.
Pada
27-28 April 1962 diselenggarakan persamaan Jurus SH Terate di Madiun
yang dipimpin langsung oleh Pimpinan Pusat. Persamaan Jurus pada waktu
itu mengenai Jurus Tingkat I (36 Jurus Tingkat I - SH Terate), sedang
Jurus Tingkat II, dan Tingkat III tidak dipersoalkan.
Pada 29-30
September 1962 digelar Musyawarah SH Terate di rumah Bapak Santoso, Jln.
Srigading 1 Madiun. Dalam Musyawarah tersebut merumuskan AD/ART SH
Terate (12 Pasal Anggaran Dasar, 11 pasal Anggaran Rumah Tangga). Dalam
AD/ART juga menetapkan lambang organisasi yaitu gambar hati putih
bertepi merah dengan sinar putih di atas bunga teratai putih, yang
dilukis pada dasar hitam yang tersirat kata-kata PERSAUDARAAN SETIA HATI
TERATE di dalamnya. (berdasar dokumen buku “Pusaka Setia Hati Terate”
yang diterbitkan oleh SH Terate Cabang Surabaya, 17 Oktober 1963).
Pada tahun 1963 untuk pertama kalinya dikumandangkan Mars SH Terate pada
acara Pagelaran Seni Budaya di Gedung Bioskop Basuki Jl. Sulawesi
(sekarang Tegel Dewasa). Syair mars SH Terate digubah oleh RM Imam
Koesoepangat sedangkan aransemennya dikerjakan Ady Yasco (Adi Pracihno).
Saat itu Mas Imam berpesan “Pancasila merupakan ideologi bangsa
Indonesia, pemersatu bangsa Indonesia. Kalau Pancasila dirubah, saya
tidak rela dan akan mempertahankan bersama-sama dengan pendekar SH
Terate”.
TAHUN 1963
RM. Imam Koesoepangat berhasil mengesahkan
anak didik pertama. Yakni, Tarmadji, RM Abdullah Koesnowidjojo (Adik RM
Imam Koessupangat), Soediro, Bibit Soekadi, Soedarso, Soedibyo,
Soemarsono dan Bambang Tunggul Wulung. Dari kedelapan anak didik Mas
Imam sampai saat ini, yang masih hidup tinggal Mas Tarmadji (Ketua Dewan
Pusat) dan Mas Soedibyo (tinggal di Jakarta).
Perlu ditegaskan
bahwa Mas Tarmadji adalah anak didik Mas Imam, sejak latihan sampai
disyahkan pelajaran pencak silat Tingkat I yang dierima dari Mas Imam
saat itu adalah pelajaran pencak yang telah disempurnakan pada era pak
Moch. Irsyad. Yakni : Senam 1 sampai 90, Jurus yang sudah diakurasikan,
sikap Pasangan, sambung persaudaran. Disela-sela pelajaran itu diberikan
permainan krippen (kuncian), permainan toya. Terakhir dididik
kerohanian (kebatinan). Kemudian berkembang lagi ada pelajaran ausdower
(peningkatan fisik). Pelajaran-pelajaran tersebut istilahnya “ilmu kang
aweh reseping ati” (ilmu yang memberi ketenangan batin). Sementara itu,
bagi Saudara- Saudara/ Kadhang SH Terate yang mempelajari ilmu kebatinan
dan kanuragan yang ibaratnya “ngelmu amrih dibacok ora tedas, ditembak
lakak-lakak” (ilmu yang dipelajari agar kebal bacok/ilmu kekebalan,
ditembak malah tertawa terbahak-bahak), tidak pernah dipermasalahkan
dengan catatan ilmu yang dipelajari itu dipergunakan hanya untuk
pengayaan keilmuan secara pribadi dan tidak dimasukkan ke dalam
kurikulum pelajaran keilmuan di SH Terate.
Masih di tahun 1963, ada
peristiwa penting yang patut disampaikan. Pasalnya momen ini dipandang
sebagai tonggak penguat perkembangan SH Terate. Yakni turunnya para
pendekar SH Terate ke gelanggang adu bebas.
Gelanggang adu bebas
pada tahun enampuluhan nerupakan event bergengsi, bagi pendekar
persilatan di Madiun dan sekitarnya. Event ini merupakan arena
pertandingan kelas laga yang diatur dengan sistem full body contact.
Boleh dibilang event ini, merupakan ajang uji kanuragan para pendekar
pilih tanding yang diatur dengan sistem pertandingan (ada wasit
pertandingan) dan ditonton orang banyak.
Dulu selain dijadikan
ajang olah kanuragan dan adu kesaktian, even yang digelar setahun sekali
di halaman Kabupaten Madiun ini, juga dijadikan media promosi perguruan
pencak silat untuk menggaet peminat. Perguruan pencak silat yang
berhasil memenangkan pertandingan jumlah muridnya pasti akan semakin
banyak. Saat itu, RM Imam Koesoepangat jadi jagonya SH Terate disamping
Parno Ramelan, dan Sudarso
Di arena laga bebas itu Mas Imam
berhadapan dengan Kyai Soekoco dari SH Tuhu Tekad – Sewulan, Dagangan.
Seorang pendekar yang dikenal digdaya dengan postur tubuh yang jauh
lebih tinggi jika dibanding dengan Mas Imam. Selain itu Kyai Soekoco
juga dikenal pendekar pilih tanding dan berpengalaman serta beberapa
kali memenangkan even adu bebas.
Awalnya sejumlah tokoh SH Terate
meragukan kemampuan Mas Imam. Tapi terbukti beliau berhasil mematahkan
keragu-raguan saudara-saudara SH Terate. Pada awal-awal pertandingan
berlangsung seru, kedua pendekar bertanding cukup imbang. Beberapa kali
tendangan dan pukulan Mas Imam mengenai tubuh Kyai Soekoco cukup telak,
namun Kyai Soekoco hanya senyum saja, pertanda Kyai Soekoco seorang
pendekar yang kebal. Memasuki babak akhir Mas Imam berhasil mengunci
tubuh Kyai Soekoco, saat itu juga Mas Imam berteriak agar wasit
melakukan perhitungan. Meski Kyai Soekoco berupaya melepaskan diri dari
kuncian namun tak berhasil. Akhirnya wasit memutuskan pertandingan
dimenangkan oleh Mas Imam.
Tahun 1965, Mas Imam menjadi Ketua
Banteng Dwikora. Namun beliau berpesan pada Mas Tarmadji, bahwa
keikutsertaan beliau dalam dunia politik praktis dan menjabat sebagai
ketua Banteng Dwikora sudah masuk wilayah pribadi dan beliau sendiri
tidak membawa SH Terate ke dalam pilihan ideologi politiknya.
TAHUN 1965
Pada tanggal 11 Agustus 1966 diselenggarakan Rapat Pengurus Pusat SH
Terate di Madiun. Dalam Rapat tersebut menghasilkan keputusan-keputusan
sebagai berikut (berdasar dokumen SH Terate Pusat No. 006/Sec/SHT/66) :
1. Refresing Pengurus Pusat dan Cabang-Cabang
Dengan timbulnya peristiwa G 30 S, maka Pimpinan Pusat SH Terate perlu
untuk mengadakan refresing pengurus baik di Pusat maupun di
cabang-cabang. Dengan demikian SH Terate tetap mengabdi pada Negara dan
bebas dari segala unsur-unsur politik yang mengganggu jalannya Revolusi
Indonesia. Susunan Pengurus Pusat yang baru, sambil menunggu Konggres
yang akan datang, yaitu sebagai berikut :
Ibu SH Terate : Ibu Hardjo Oetomo
Ketua I : Bpk Soetomo Mangkoedjojo
Ketua II : Bpk Harsono
Ketua III : Sdr. RM. Imam Kussupangat
Sekretaris I : Sdr. Koeswanto B.A.
Sekretaris II : Sdr. Kadarmanto
Bendahara I : Bpk Hadi Soebroto
Bendahara II : Bpk Hardjo Wagiran
Pelatih Pusat : Bpk Badini
Bpk Harsono
Sdr. RM Imam Kussupangat
Pembantu Umum : Bpk Soenardi
Sdr. Soenarso
Sdr. Soediro
Dewan Pengesah : Bpk Darussalam
Bpk Soetomo Mangkudjojo
Bpk J. Darsono
Bpk Hardjo Giring
Bpk Hadi Soebroto
2. Instruksi kepada Cabang-Cabang
1. Tiap-tiap cabang diharuskan mengadakan refresing Pengurus cabang dalam waktu yang sesingkatnya.
2. Tiap-tiap diharuskan mengirimkn daftar Pengurus/ anggota baik yang belum disyahkan maupun yang sudah disyahkan.
3. Pusat akan mengirimkan “Belletin” kepada cabang untuk memberi bimbingan seperlunya.
4. Tiap-tiap cabang diharuskan mengirimkan rencana kerjanya masing-masing.
3. Rencana Kerja Pusat
Dalam waktu yang singkat SH Terate Pusat akan menerbitkan Majalah SH Terate yang isinya sebagai berikut :
a. Kebatinan SH/ sejarah SH
b. Teknik Pembelaan Diri
c. Cerita pendek perjuangan (bersambung)
d. Berita keluarga
e. Apa dan siapa
Untuk mengisi/ menambah isi MAJALAH tersebut, Dewan Redaksi Majalah
tersebut memohon kepada Cabang-cabang untuk mengirimkan karya-karyanya,
sajak-sajak/ puisi, cerita-cerita, berita keluarga, termasuk perkawinan,
kematian dsb.
Selambat-lambatnya pengiriman karangan harus sudah di
meja redaksi dengan alamat: Sdr. Kadarmanto, Jl. Husein Sastranegara
No. 4 Madiun dan sudah harus diterima pada tanggal 7 tiap bulannya.
TAHUN 1967
Tahun 1967 RM Imam Kussupangat mesu budi (tirakat atau laku ikhtiar),
melakukan puasa selama 7 (tujuh) hari tujuh malam di dalam kamar.
Kecintaan beliau pada SH Terate mendorong Mas Imam meninggalkan
kesenangan pribadi dan gemar melakukan tirakatan.
Sebelum masuk ke
dalam kamar, Mas Imam meminta Mas Tarmadji menjaga di depan pintu. Saat
itu beliau berpesan kalau di hari ke-7 (tujuh) beliau tidak keluar, maka
Mas Tarmadji diminta mendobrak pintu kamar dan masuk ke dalam.
Tepat pada hari ke-7, Mas Imam keluar kamar dengan sempoyongan. Dengan
suara terbata-bata, beliau meminta Mas Tarmadji mencarikan air kunir
asam untuk minum. Beberapa saat setelah meminum air kunir asam, beliau
berkata, “Njenengan eling-eling dik, njenengan titeni, mbenjing titi
wancine SH Terate ageng Dik. Ning kulo mboten nemoni. Mbenjing sing
nemoni Dik Madji. Sing mimpin njih Dik Madji. Ageng Dik, ngluwihi
paguron-paguron liyane”. (Kamu ingat-ingat ya Dik. Kamu perhatikan.
Besok jika sudah sampai waktunya, SH Terate bakal berkembang pesat
menjadi besar. Tapi saya tidak menjumpainya. Besok yang menjumpi Dik
Madji. Yang memimpin juga Dik Madji. SH Terate besar Dik, melebihi
perguruan-perguruan (pencak silat) lainnya). Mendengar ungkapan tersebut
Mas Tarmadji hanya diam, dan tidak begitu paham apa maksud ungkapan Mas
Imam tersebut. “Saat itu, saya berpikir Mas Imam berkata seperti itu
hanya untuk membesarkan hati saya”, ujar Mas Tarmadji.
Hari-hari
berikutnya, Mas Tarmadji sering diajak menemani Mas Imam laku tirakat.
Banyak lokasi yang dikunjungi, dari Segoro Kidul (Pantai Selatan), Hargo
Dumilah di Puncak Gunung Lawu hingga Gunung Srandil. (Maksud dari
tirakat tersebut adalah bagaimana manusia dapat berani dan kuat melawan
diri dari kelelahan, kecapekan, rasa ingin menyerah/ putus asa. Yang
mana dalam kehidupan yang nyata nanti manusia akan dihadapkan dalam
realita tantangan hidup yang lebih besar lagi dan bagaimana kita
menyadari bahwa sebenarnya musuh yang terbesar adalah nafsu ada dalam
diri kita masing-masing-red).
Terkait dengan laku tirakat (tapa
brata) yang dilakukan RM Imam Kussupangat, adalah laku pribadi,
pengayaan keilmuan pribadi Mas Imam sendiri dan beliau tidak pernah
memaksakan diri untuk memasukkan ke dalam kurikulum pelajaran SH Terate.
TAHUN 1974
Tahun 1974 Bapak Soetomo Mangkudjojo menyelesaikan masa bhaktinya
sebagai Ketua SH Terate. Perkembangan SH Terate mulai melebar keluar
wilayah Madiun. Tercatat 5 Cabang yang telah didirikan :
1. Cabang Surabaya, Jawa Timur dipimpin oleh Bapak Richard Wahyudi
2. Cabang Mojokerto, Jawa Timur
3. Cabang Magetan, Jawa Timur
4. Cabang Solo, Jawa Tengah dipimpin oleh Bapak Ir. Soekamto
5. Cabang Yogyakarta,
Satu momentum penting yang dilahirkan pada periode kepemimpinan Pak
Soetomo Mangkudjojo ini adalah proses pembaruan menuju perubahan yang
lebih baik. Sebuah proses yang diakui menjadi pondasi perkembangan SH
Terate, yang semula berbentuk perguruan menjadi organisasi persaudaraan.
Tahun 1974 digelar Konggres Persaudaraan Setia hati Terate di
Madiun. Hasilnya menjunjung tinggi konsep persaudaraan sebuah roh
organisasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dalam
menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di intern SH Terate. Konggres
juga sepakat :
1. Mengangkat RM Imam Koessupangat sebagai Ketua Umum Pusat dan Bapak Soetomo Mangkudjojo sebagai Ketua Dewan Pusat.
2. Menjadikan kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan
selanjutnya dapat disuarakan lewat wakilnya dalam setiap konggres.
3. SH Terate berikrar : Barangsiapa mengganggu gugat Pancasila, seluruh
Keluarga Besar Persaudaraan Setia Hati Terate siap mempertahankan
Pancasila sebagai Dasar negara RI, sampai titik darah penghabisan.
Pada hari Minggu, tanggal 14 Desember 1975, Bapak Soetomo Mangkudjojo
wafat. Jenazah beliau dimakamkan di tempat pemakaman Cangkring, Kota
Madiun. Lokasi makam ini sekitar 500 meter sebelah barat Stadion Wilis,
Kota Madiun.
TAHUN 1977
Pada tahun 1977, SH Terate Pusat kembali
menggelar Konggres SH Terate di Madiun. Dalam Konggres memutuskan Bapak
Badini menjabat sebagai Ketua Umum SH Terate Pusat, dan RM Imam
Koessupangat menjabat sebagai Ketua Dewan Pusat. Sebagai Ketua Dewan
Pusat setiap Pengesahan Warga Baru Mas Imam selalu dipasrahi untuk
memimpin acara.
Pada periode ini, KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono
Adinagoro, S.E. mulai diserahi amanah menduduki jabatan di kepengurusan
Pusat sebagai Ketua I.
Pak Badini dikenal sebagai pendekar SH Terate
yang berbakat dalam permainan tunggal (solospel). Gerakannya matang,
luwes, indah dan berisi. Saat menjadi Ketua Umum SH Terate, beliau masih
tetap mau turun ke bawah, ikut melatih siswa maupun warga yang ingin
menguasai permainan pencak silat seni SH Terate.
Saat Ir. Soekarno
masih menjabat Presiden RI, Pak Badini berpasangan dengan Bapak Hardjo
Mardjut dipanggil ke Istana Negara di Jakarta untuk memperagakan pencak
silat seni.
TAHUN 1978
Pada tahun 1978 SH Terate sempat
mengalami defisit kas organisasi. Bahkan punya tanggungan hutang.
Berdasarkan kesepakatan pengurus pusat, Mas Tarmadji yang saat itu
menjabat sebagai Ketua I, diminta mencari jalan keluar untuk mengatasi
masalah ini.
Mengemban amanat pengurus pusat, Mas Tarmadji
mengajukan sejumlah alternatif yang diyakini bisa dijadikan solusi.
Salah satunya mengusulkan perubahan uang mahar pengesahan yang tadinya
berupa uang mahar yang sudah tidak laku (uang ketengan/benggolan),
menjadi uang laku yang digunakan Pemerintah RI.
Berdasarkan
keterangan dari sejumlah tokoh SH Terate, dulu jika calon warga
membutuhkan uang logam ketengan/benggolan untuk mahar, mereka bisa
mendapatkan dari Ibu Inem Hardjo Oetomo. Caranya menukar uang logam lama
itu dengan uang baru yang masih berlaku. Selain digunakan untuk
mendukung kegiatan SH Terate, hasil penukaran uang mahar itu juga
digunakan untuk membantu kehidupan Ibu Hardjo Oetomo, sebagai bentuk
penghargaan atas jasa Bapak Hardjo Oetomo mendirikan perguruan pencak
silat SH Terate.
Usulan Mas Tarmadji merubah uang mahar ini semula
dianggap kontroversional dan memancing perbedatan di kalangan pengurus
SH Terate Pusat. Banyak tokoh yang kurang sependapat. Malah beliau
sempat dipanggil sejumlah tokoh SH Terate di Surabaya. Antara lain Darmo
Sanjoto, Ricard Wahyudi, Maryono, dan Isoyo, Mas Tarmadji diminta
memberikan alasan atas usulan itu.
Di hadapan tokoh tersebut,
dijelaskan alasan mendasar kenapa beliau berani mengajukan usulan
penggantian uang mahar dari yang tadinya uang logam yang tidak laku
menjadi uang logam yang laku. Alasan mendasar usulan tersebut adalah
bahwa SH Terate sudah memproklamirkan dirinya dari perguruan pencak
silat tradisional menjadi organisasi modern. Dengan adanya kesepatan
ini, berarti SH Terate bukan lagi milik perorangan, tapi milik anggota.
Karena SH Terate sudah berbentuk organisasi modern maka organisasi harus
bisa mandiri dan memiliki uang kas yang cukup untuk membiayai
kegiatannya. Apalagi tantangan ke depan bukan semakin kecil tapi semakin
besar. Kegiatan yang diprogramkan organisasi juga semakin banyak dan
bercakupan luas.
Perihal santunan untuk membantu perekonomian
keluarga mendiang Ki Hadjar Hardjo Oetomo, Mas Tarmadji bersedia
bertanggung jawab penuh. Dan janji itu benar dilaksanakan. Tak hanya
sewaktu Ibu Hardjo Oetomo masih hidup, tanggung jawab menghargai jasa
keluarga pendiri SH Terate itu juga terus dilakukan sepeninggal Ibu
Hardjo Oetomo. Misalnya untuk membiayai acara kirim doa, dan
memperingati hari wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo maupun Ibu Hardjo
Oetomo.
Alasan yang diajukan Mas Tarmadji, terbukti mampu meyakinkan
tokoh SH Terate. Sejak saat itu uang mahar yang digunakan calon warga
baru (Warga Tingkat I) dalam prosesi pengesahan diganti uang logam yang
laku. (Ketika itu uang mahar pengesahan yang digunakan adalah Rp 100,- x
36 dan mulai tahun 2003 uang mahar diganti Rp 1.000,- x 36-red)
Usulan tersebut membawa dampak yang positif bagi perkembangan SH Terate.
Bersumber dari uang mahar ini pula, sampai sekarang SH Terate bisa
mandiri dan mampu membangun Padepokan Agung SH Terate di Jl. Merak,
Nambangan Kidul, Kota Madiun, berikut sarana dan prasarananya.
TAHUN 1979
SH Terate Pusat Madiun menggelar Krida Nasional “SH Terate Cup I” di
Madiun. Keluar sebagai Juara Umum dalam kejuaraan pencak silat tersebut
adalah Persaudaraan Setia Hati Terate Cabang Solo.
TAHUN 1981
Tahun 1981 sebelum menggelar Musyawarah Besar, SH Terate Pusat kembali
menggelar Krida Nasional “SH Terate Cup II” di Solo. Dalam upacara
pembukaan even tersebut dibuka oleh Pangdam VII/ Diponegoro. SH Terate
Cabang Ngawi menyabet Juara Umum I, SH Terate Cabang Solo memperoleh
Juara Umum II.