MASA PERINTISAN (Tahun 1922 – 1952)
TAHUN 1922
Cikal bakal Setia Hati Terate adalah Setia Hati Pemuda Sport Club, perguruan pencak silat yang didirikan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo (1890 - 1952), warga Desa Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, pada tahun 1922.
Beliau merupakan murid dari Ki Ngabehi Soerodiwirjo (1869-1944), pendiri aliran pencak silat Setia Hati (SH – lebih dikenal SH Winongo), yang berpusat di Desa Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun (sampai saat ini kegiatan SH Winongo masih eksis dan seluruh kegiatannya dipusatkan di rumah/panti peninggalan Ki Ngabehi Soerdiwirjo).
Desa Pilangbango pada era pemerintahan Kolonial Belanda merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Wungu, Madiun (sekarang Desa Pilangbango berubah status menjadi kelurahan, masuk wilayah Kecamatan Kartoharjo).
Pada awal perintisan SH PSC hanya berupa latihan pencak yang diikuti oleh sejumlah pemuda dan teman seperjuangan Pak Hardjo Oetomo. Berbekal ilmu pencak silat Djojo Gendilo Ciptomuljo, ciptaan Ki Ngabehi Soerodiwirjo saat beliau berguru di SH Winongo (Bapak Hardjo Oetomo dikecer di SH Winongo tahun 1917), beliau mengumpulkan pemuda setempat untuk digembleng ilmu kanuragan. Latihan pencak silat yang digelar Pak Hardjo Oetomo saat itu secara implisit (sembunyi-sembunyi) diformat sebagai ajang pembekalan (basis) pemuda untuk melawan penjajahan Belanda. (berdasar dokumen yang dimiliki KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, S.E.).
Jiwa patriotisme yng tertanam di dalam dada Pak Hardjo Oetomo tidak rela tanah air tercinta dijajah bangsa lain. Demi memenuhi dharma bhakti kepada bumi pertiwi. Setelah membuka tempat latihan di Pilangbango, beliau juga membuka tempat latihan pencak silat di daerah lain, seperti Loceret, Nganjuk, Pare, kediri dan beberapa kota lain di Jawa Timur. Beliau membuka latihan pencak silat dengan niat mulia. Yakni mengembangkan ilmu pencak SH ke masyarakat kecil (rakyat jelata) dan para pejuang perintis kemerdekaan. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan bahwa ilmu pencak SH hanya diajarkan kepada kaum bangsawan dan pangreh projo (pegawai pemerintahan Belanda)saja, seperti kerabat Bupati, Wedana, Mantri Polisi dan masyarakat berdarah biru (kaum bangsawan- dalam stratafikasi sosial masyarakat Jawa, komunitas kaum bangsawan ini biasanya bergelar Raden (R), Raden Mas (RM), Raden Ajeng (RA), Raden Bagus (RB) di depan namanya ). (berdasar sumber dari catatan pribadi (buku harian) yang ditulis sendiri oleh Bapak Hardjo Oetomo)
Sejumlah dokumen menyebutkan, terdapat beberapa alasan mendasar yang memantik niat Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka tempat ltihan dan mendirikan perguruan pencak silat baru. Yakni terjadi silang pendapat yang cukup prinsip antara beliau dengan Ki Ngabehi Soerodiwirjo.
Selain alasan tersebut, Ki Hadjar Hardjo Oetomo tidak sependapat jika ilmu SH diajarkan kepada anak-anak Belanda (sinyo). Sebab hal itu bertentangan dengan prinsip beliau, yang ingin menjadikan pencak silat, sebagai basis pelatihan pemuda pribumi dalam rangka menyusun kekuatan melawan penjajah Belanda.
Ditengarahi, lantaran keberanian Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka tempat latihan baru ini, beliau dan muridnya sempat diolok-olok sebagai kelompok “SH Murtad”, artinya tidak setia (ingkar).
TAHUN 1924
Bapak Hardjo Oetomo baru memberikan nama latihan pencak silat yang didirikan itu pada tahun 1924, dengan nama Setia Hati Pemuda Sport Club. Nama itu disingkat oleh beliau sendiri dengan singkatan SH PSC. Hal itu terjadi setelah beliau bertemu dan berdiskusi dengan Amin Kuseri, seorang guru Sekolah Rakyat (SR) di Pare, Kediri. Di tempat ini, beliau juga sempat membuka tempat latihan.
Dalam buku hariannya, beliau menandaskan sekalipun pemberian nama perguruan pencak silat SH PSC terjadi di Pare, kediri, pusatnya tetap di Pilangbango, Madiun, kediaman beliau.
Tradisi komunikasi sosial yang dikembangkan di awal berdirinya SH PSC adalah “paguron” (perguruan pencak silat), dengan sistem kepemimpinan yang menempatkan sosok patron (tokoh) atau guru berada pada posisi puncak (pucuk pimpinan).
Kegiatan SH PSC diawasi dengan ketat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda karena mengajarkan pencak silat, walau latihan pencak silat sudah dilakukan secara sembunyi –sembunyi.
Tahun 1924 ini pula Bapak Hardjo Oetomo ditangkap oleh Belanda karena melakukan gerakan menantang Pemerintahan Kolonil Belanda di Madiun dan beliau dihukum selama tiga bulan. Hukuman itu dijalankan di penjara Talang, Jember. (catatan singkat sejarah perjuangan yang ditulis oleh istri beliau Ibu Inem Hardjo Oetomo).
Berdasar catatan tersebut, berarti beliau ditangkap dan dipenjara Kolonialis setelah mendirikan SH PSC di Pare, Kediri.
Setelah keluar dari penjara talamng, jember, ternyata semangat Pk Hardjo Oetomo dalam gerkan perintisan kemerdekaan semakin berkobar. Aksinya ini menjadikan pemerintah Kolonial Belanda semakin berang.
Tahun 1925, Bapak Hardjo Oetomo ditangkap lagi dan dipenjara selama 6 bulan. Istri beliau saat itu juga ikut ditangkap dan dibawa ke Bereau Velpolitie. Tapi dipulangkan lagi setelah menjalani interogasi dan menandatangani berkas perkara pemeriksaan.
Selang tiga bulan berda di penjara Pemerintahan Belanda, beliau dipanggil dan dibawa ke pengadilan (landraad) Belanda dengan tuduhan merencanakan aksi pemogokan dan menentang kebijakan pemerintah kolonial di dalam penjara. Sidang majlis hakim Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan Bapak Hardjo Oetomo bersalah divonis hukuman penjara selama 5 tahun.
Vonis penjara 5 tahun itu dijalankan setelah Bapak hardjo Oetomo menyelesaikan masa hukuman enam bulan di tlang, jember. Berdasarkan putusan itu pula beliau dipindahkan dari penjara talang, jember ke penjara Cipinang, Jakarta Timur.
Dua tahun berada dalam penjara Cipinang, Bapak Hardjo Oetomo, kembli melakukan gerakan melawan kebijakan penjajah. Karenanya Pemerintah Kolonial belanda mengambil langkah mengasingkan beliau ke penjara Padang Panjang, Sumatera Barat.
Catatan itu juga menyebutkan, beliau sebenarnya sudah masuk dalam deretan nama-nama pejuang Perintis Kemerdekaan RI yang akan dibuang ke Boven, Digul. Tapi hukuman itu urung dijalankan karena beliau sudah menjalani hukuman selama 3 tahun di penjara Padang Panjang.
Catatan ringkas perjalanan SH Terate yang dibuat oleh bapak Jendro Dharsono, menyebutkan sekembali dari penjara Padang Panjang kehidupan Bapak Hardjo Oetomo cukup menderita. Untuk menopang kehidupan rumah tangga, beliau sempat berganti-ganti profesi. Antar lain menjadi mandor pabrik tenun, bahkan pernah menjadi wartawan dan menerbitkan media massa (surat kabar/koran). Surat kabar yang didirikan oleh Bapak Hardjo Oetomo berbentuk mingguan (tabloid) yang diberi nama “Keinsyafan Rakjat”. Di media masaa ini beliau menjabat sebagai Pimpinan redaksi.
Tetapi tidak lama kemudian, mingguan Keinsyafan Rakjat dibredel (dilarang terbit) oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Alasannya media massa tersebut dijadikan alat propaganda pergerakan menentang penjajahan di tanah air tercinta.
Setelah upaya pembredelan tabloid tersebut, gerak gerik Bapak Hardjo Oetomo terus diawasi. Bahkan untuk memperketat pengawasan, pemerintah Kolonial Belanda mendirikn pos penjagaan di depan rumah beliau di Pilangbango.
Memasuki tahun 1938, kondisi fisik Bapak Hardjo Oetomo ( + beliau berusia 48 tahun) mulai menurun. Beliau menderita sakit stroke dan separo badannya tak bisa digerakkan. Karena keterbatasan itu, kegiatan SH PSC diamanatkan kepada sejumlah muridnya. Konsep kepemimpinan kolektif mulai dikembangkan, guna mengisi kevakuman posisi pimpinan.
TAHUN 1942
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942, SH PSC berganti nama menjadi Setia Hati Terate (SH Terate). Nama ini merupakan usulan Soeratno Sorengpati, tokoh perintis kemerdekaan daei Indonesia Muda, salah seorang siswa SH Terate saat itu. Salah satu alasan yang mendasari pergantian nama itu, adalah agar SH PSC tidak lagi dicap sebagai pemberontak seperti zaman penjajahan Belanda.
Sekalipun sudah berubah nama menjadi SH Terate, konsep komunikasi yng dikembangkan di kalangan warga SH Terate, pada era itu masih tetap memakai konsep “peguron” (perguruan) pencak silat. Hirarki kepemimpinan masih dipegang guru, dalam hal ini Bapak Hardjo Oetomo.
TAHUN 1948
Atas izin Bapak Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar konferensi (Musyawarah Antar Warga SH Terate) di kediaman beliau di Pilangbango, Madiun. Sejumlah murid beliau tampil ke depan. Antara lain Bapak Soetomo Mangkoedjojo, Bapak Jendro Dharsono, Bapak Soemadji, Bapak Badini, Bapak Moch. Irsyad. Saat itu Bapak Hardjo Oetomo dalam keadaan sakit (separo badannya tidak dapat digerakkan).
Musyawarah tersebut melahirkan mufakat, bahwa kegiatan SH Terate harus tetap berjalan dan berkembang. Karena Bapak Hardjo Oetomo tidak dapat melakukan aktivitas, kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid-muridnya. Kemudian digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni, dari sistem “Perguruan pencak Silat” ke sistem Organisasi Persaudaraan.
Pada tahun 1950 Bapak Hardjo Oetomo mendapat pengakuan dan penghargaan dari pemerintah RI sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI. Penghargaan ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda.
TAHUN 1952
Pada hari Sabtu, tanggal 12 April 1952 Bapak Hardjo Oetomo wafat dalam usia + 62 tahun, dan jenazahmya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kelurahan Pilangbango, Madiun.
Bapak Hardjo Oetomo meninggalkan seorang istri, Ny. Inem dan dua orang putra yang diberi nama Harsono dan Harsini. Bapak Harsono juga merupakan warga SH Terate terakhir beliau aktif di SH Terate Cabang Surabaya menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Cabang. Beliau wafat tahun 2000 di rumah puteri kemenakan beliau di Jl. Tambak Mayor Surabaya. Saat pelepasan jenazah beliau diantar oleh Mas Aliadi Ika (Ketua SH Terate Cab. Surabaya) dan keberangkatan jenazah ke Madiun diiringi Warga SH Terate, sesampai di Pilangbango, jenazah beliau diterima oleh Mas Tarmadji selaku Ketua Umum Pusat, yang selanjutnya dimakamkan di pemakaman yang sama dengan ayahanda beliau. Sedang Ibu Harsini bersuamikan Warga SH Terate yang bernama Bapak Gunawan Pamudji, (beliau berdua juga sudah wafat).
Keberadaan Bapak Hardjo Oetomo sebagai pendiri, sekaligus pelatih atau guru pencak silat, menduduki posisi patron. Karena posisi beliau ini, beliau disegani dan sangat dihormati oleh murid-muridnya. Sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kepada beliau murid-muridnya memberi gelar “Ki Hadjar” (diambil dari akar kata dalam bahasa Jawa “ajar” yang artinya pelatih, pendidik, pengajar). Dalam perkembangannya, nama pendiri SH Terate disebut lengkap dengan gelarnya, yakni Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
MASA TRANSISI (Tahun 1953 – 1980)
Pasca wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo, kegiatan SH Terate diteruskan para muridnya. Jumlah anggota yang ikut bergabung, satu demi satu mulai bertambah searah perjalanan waktu.
Era kemerdekaan bergulir pelan tapi pasti dan kegiatan SH Terate yang pada masa Kolonial diawasi dan dibatasi, telah berubah menjadi leluasa dan bebas. Ruang gerak warga masyarakat dalam mengembangkan kreativitas, terbuka lebar. Belenggu kolonialisme tak ada lagi, berganti era harapan baru untuk berjuang demi mengisi kemerdekaan.
Sejalan dengan itu, mulai muncul pemikiran tentang format penataan program kegiatan di dalam SH Terate. Posisi “guru” atau pemimpin SH Terate yang vakum setelah Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat, sudah selayaknya diisi.
Gagasan perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate yang pernah dibicarakan dalam konferensi di Pilangbango tahun 1948, semakin mengerucut. Puncaknya pada tanggal 13 September 1953, dengan digelarnya Konferensi/ Rapat Permusyawaratan Warga SH Terate di Jl. Diponegoro No. 45 Madiun, kediaman Bapak Soetomo Mangkoedjojo (1908-1975).
Rapat Permusyawaratan Warga/ Konferensi SH Terate saat itu menghasilkan sejumlah keputusan penting, antara lain :
1. Menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) SH Terate yang pertama
2. Menetapkan susunan Pengurus SH Terate Pusat di Madiun, yaitu :
Ketua : R.M. Soetomo Mangkoedjojo
Penulis I : R. Soemadji
Penulis II : S. Hadi Soebroto
Bendahara : Bambang Soedarsono
Pembantu : Karsono dan Harsono
Pelatih : Santoso dan Badini
3. Untuk menghargai jasa Bapak Hardjo Oetomo yang telah berjuang mendirikan perguruan pencak silat ini, SH Terate memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan Ki Hadjar.
4. Istri Bapak Hardjo Oetomo, Ibu Inem Hardjo Oetomo diposisikan sebagai Ibu SH Terate.
5. Sementara itu untuk mengefektifkan program latihan pencak SH Terate, Bapak Santoso dan Pak Badini ditunjuk sebagai pelatih.
Mengapa langkah pembaharuan itu ditempuh? Alasannya pertama agar SH Terate mempu mensejajarkan kiprahnya dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai komunitas yang melingkupinya. Dengan adanya perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate dari “paguron” menjadi organisasi yang bertumpu pada sistem “persaudaraan”, berarti gaung pembaharuan telah diluncurkan dan proses perubahan telah digelar. Yakni perubahan roh organisasi dari sistem tradisional ke sistem organisasi modern. Dengan konsep ini, kelak SH Terate diharapkan mampu menjawab tantangan kehidupan yang semakin kompleks.
Alasan kedua; agar SH Terate tidak dikuasai dan bergantung pada perorangan saja, sehingga kelangsungan hidup organisasi dan kelestariannya lebih terjamin.
Meski roh organisasi sudah bergeser dari perguruan pencak silat berubah menjadi organisasi persaudaraan, namun dalam konsepsi keilmuan (idealisme), tradisi paguron masih tetap dipertahankan. Ini mengingat bahwa SH Terate lahir dari akar budaya pencak silat yang tetap ngugemi prinsip-prinsip patrialisme.
Lain kata konsepsi demokratisasi lebih dikedepankan dalam penataan organisasi. Sementara dalam prosesi pewarisan keilmuan, tradisi paguron atau perguruan pencak silat masih dipegang teguh oleh tokoh-tokoh SH Terate. Dan ini harus diakui terus dipertahankan turun-temurun, hingga era kepemimpinan RM Imam Koessoepangat dan era kepemimpinan KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, S.E. Sebab berdasarkan kajian empiris, tradisi paguron ini justru merupakan roh yang memberikan kekuatan nilai-nilai persaudaraan dan ke-Setia Hati-an (ke-SH-an).
Terpilihnya Bapak Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua Pusat SH Terate pada periode ini, merupakan pilihan yang tepat. Pak Tomo (panggilan akrab beliau) dikenal sebagai tokoh yang cukup arif dan bijaksana. Sosoknya tinggi, tegap dan berwibawa. Beliau juga setia dan tegas dalam mengambil keputusan, serta teguh dalam memegang prinsip. Satu lagi pandangannya cukup luas dan terbuka. Dibalik sosoknya yang tinggi dan tegap tersembunyi budi pekerti/ kesantunan beliau terhadap sesama.
TAHUN 1956
Di tahun 1956 dikarenakan Bapak Soetomo Mangkoedjojo pindah tugas dari BRI (Bank Rakyat Indonesia) Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin), jabatan Ketua SH Terate digantikan Bapak Moch. Irsyad. Sedangkan jabatan sekretaris dipegang oleh Bapak Soedarsono.
Pak Moch. Irsyad dikenal sebagai pendekar yang menguasai teknik beladiri yang cukup matang. Pada era kepemimpinan beliau ini, dilakukan penggalian teknik dan akurasi gerakan pencak silat. Gerakan, terutama pada serangan yang menurut keyakinannya lemah, dicoba untuk lebih diakurasikan.
Pendalaman, penelitian dan kajian yang dilakukan Pak Moch. Irsyad ini melahirkan sejumlah gerakan teknik yng kemudian dipakai untuk mengakurasikan bebrapa gerakan jurus SH Terate.
Pada saat Pak Moch. Irsyad menjadi Ketua Pusat, setelah beliau melakukan uji materi dan pendalaman akurasi jurus, lahir sejumlah temuan :
1. Beberapa gerakan jurus, sebut misalnya Jurus I sampai dengan Jurus IV, diakurasikan. Terutama pada gerakan serangan. Sebelumnya pukulan pada Jurus I (hitungan ke-4) adalah mbandul (pukulan menggunakan punggung tangan) diakurasikan menjadi menohok (upper cut). Kemudian gerakan colok yang semula hanya dengan dua jari (jari telunjuk dan jari tengah), diakurasikan dengan lima jari yang dirapatkan hingga makin bertenaga. Jurus 5 yang awalnya setelah pasang hanya gerakan tangkisan kaki, ditambah dengan gerakan tangkis pukul, gerakan jurus lain yang disempurnakan adalah Jurus 8, yaitu dengan perubahan pasangan nangkis dan tendangan dua kali.
2. Sementara untuk mendasari gerakan siswa SH Terate Pak Moch. Irsyad menciptakan gerakan senam dari senam 1 (satu) hingga senam 90 (sembilan puluh). Gerakan senam merupakan gerakan penggalan-penggalan jurus, untuk mendasari siswa mempermudah menggerakan dan menghafalkan jurus.
3. Pada era kepemimpinan Pak Moch. Irsyad ini juga lahir keputusan penting lainnya. Yakni, penciptaan Kode Pendekar SH Terate. Salah satu alasan penciptaan kode pendekar, karena jumlah Warga SH Terate saat itu sudah mulai banyak, sehingga di antara Warga mulai tidak saling mengenal karena beda tempat latihan dan pengesahan.
Dengan Kode pendekar SH Terate ini, seorang warga bisa melakukan deteksi secara akurat, apakah orang yang baru dikenal itu Warga SH Terate atau bukan. Kode Pendekar SH Terate yang diciptakan Pak Moch. Irsyad sampai sekarang masih digunakan dan diberikan kepada anggota SH Terate yang sudah disyahkan menjadi Warga.
Penciptaan senam dasar dan penyempurnaan jurus ini juga diyakini agar SH Terate tidak diperolok lagi sebagai SH Murtad oleh sekelompok orang yang merasa memiliki atau merasa sabagai ahli waris (trah) SH yang didirikan oleh Ki Ngabehi Soerodiwirjo. Salah seorang murid pak Moch. Irsyad yang langsung menerima pelajaran senam 1 sampai 90 dan pendalaman akurasi jurus adalah RM. Imam Koesoepangat (1938-1987).
RM Imam Koesoepangat yang lebih akrab dengan panggilan Mas Imam, mulai berlatih pencak silat di SH Terate tahun 1953 (saat berusia + 16 tahun). Selama lima tahun (dari tahun 1953-1958) beliau berlatih di bawah asuhan langsung Pak Moch. Irsyad (murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo) dan menerima langsung pendalaman teknik dan akurasi jurus serta senam dasar. Mas Imam disyahkan menjadi pendekar SH Terate Tingkat I pada tahun 1958 ketika berusia 20 tahun bersama Bapak Koeswanto, B.A., dan Bapak Harsanto. Pengesahan dilaksanakan di Oro-oro Ombo, Madiun kediaman Bapak Santoso, Dewan Pengesah Bapak Soetomo Mangkoedjojo.
Dalam perkembangannya, anak didik langsung Pak Moch. Irsyad yang satu ini, muncul sebagai tokoh yang cukup diperhitungkan.
TAHUN 1959
Tahun 1959, RM Imam Koesoepangat mulai melatih di Paviliun Kabupaten Madiun. Kediaman beliau terletak bersebelahan dengan Pendapa Kabupaten Madiun. Beliau adalah sosok pendekar yang santun dan berwibawa. Jika melatih siswanya, beliau disiplin, keras, dan tegas. Ucapan dan perilakunya konsisten, jika bilang A maka yang beliau lakukan juga A. Akan tetapi dibalik sikap keras beliau dalam melatih, beliau adalah sosok yang santun dan lembah manah, jika berbicara kepada murid-muridnya beliau memakai bahasa Jawa halus (boso kromo).
Selama Mas Imam melatih pencak silat, materi senam dan jurus yang diajarkan beliau adalah senam dan jurus yang sampai sekarang diajarkan kepada siswa SH Terate yangmana beliau pelajari dari Pak Moch. Irsyad. Dalam perkembangannya senam dan akurasi jurus yang pada era Pak Moch. Irsyad akhirnya dijadikan gerakan baku pencak silat SH Terate.
TAHUN 1960
Pada kisaran tahun 1960 Bapak Moch. Irsyad mengakhiri masa jabatannya sebagai Ketua SH Terate dan pindah tempat tinggal ke Bandung. Sebagai gantinya Bapak Santoso diangkat menjadi Ketua Pusat SH Terate.
Pada 27-28 April 1962 diselenggarakan persamaan Jurus SH Terate di Madiun yang dipimpin langsung oleh Pimpinan Pusat. Persamaan Jurus pada waktu itu mengenai Jurus Tingkat I (36 Jurus Tingkat I - SH Terate), sedang Jurus Tingkat II, dan Tingkat III tidak dipersoalkan.
Pada 29-30 September 1962 digelar Musyawarah SH Terate di rumah Bapak Santoso, Jln. Srigading 1 Madiun. Dalam Musyawarah tersebut merumuskan AD/ART SH Terate (12 Pasal Anggaran Dasar, 11 pasal Anggaran Rumah Tangga). Dalam AD/ART juga menetapkan lambang organisasi yaitu gambar hati putih bertepi merah dengan sinar putih di atas bunga teratai putih, yang dilukis pada dasar hitam yang tersirat kata-kata PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE di dalamnya. (berdasar dokumen buku “Pusaka Setia Hati Terate” yang diterbitkan oleh SH Terate Cabang Surabaya, 17 Oktober 1963).
Pada tahun 1963 untuk pertama kalinya dikumandangkan Mars SH Terate pada acara Pagelaran Seni Budaya di Gedung Bioskop Basuki Jl. Sulawesi (sekarang Tegel Dewasa). Syair mars SH Terate digubah oleh RM Imam Koesoepangat sedangkan aransemennya dikerjakan Ady Yasco (Adi Pracihno).
Saat itu Mas Imam berpesan “Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, pemersatu bangsa Indonesia. Kalau Pancasila dirubah, saya tidak rela dan akan mempertahankan bersama-sama dengan pendekar SH Terate”.
TAHUN 1963
RM. Imam Koesoepangat berhasil mengesahkan anak didik pertama. Yakni, Tarmadji, RM Abdullah Koesnowidjojo (Adik RM Imam Koessupangat), Soediro, Bibit Soekadi, Soedarso, Soedibyo, Soemarsono dan Bambang Tunggul Wulung. Dari kedelapan anak didik Mas Imam sampai saat ini, yang masih hidup tinggal Mas Tarmadji (Ketua Dewan Pusat) dan Mas Soedibyo (tinggal di Jakarta).
Perlu ditegaskan bahwa Mas Tarmadji adalah anak didik Mas Imam, sejak latihan sampai disyahkan pelajaran pencak silat Tingkat I yang dierima dari Mas Imam saat itu adalah pelajaran pencak yang telah disempurnakan pada era pak Moch. Irsyad. Yakni : Senam 1 sampai 90, Jurus yang sudah diakurasikan, sikap Pasangan, sambung persaudaran. Disela-sela pelajaran itu diberikan permainan krippen (kuncian), permainan toya. Terakhir dididik kerohanian (kebatinan). Kemudian berkembang lagi ada pelajaran ausdower (peningkatan fisik). Pelajaran-pelajaran tersebut istilahnya “ilmu kang aweh reseping ati” (ilmu yang memberi ketenangan batin). Sementara itu, bagi Saudara- Saudara/ Kadhang SH Terate yang mempelajari ilmu kebatinan dan kanuragan yang ibaratnya “ngelmu amrih dibacok ora tedas, ditembak lakak-lakak” (ilmu yang dipelajari agar kebal bacok/ilmu kekebalan, ditembak malah tertawa terbahak-bahak), tidak pernah dipermasalahkan dengan catatan ilmu yang dipelajari itu dipergunakan hanya untuk pengayaan keilmuan secara pribadi dan tidak dimasukkan ke dalam kurikulum pelajaran keilmuan di SH Terate.
Masih di tahun 1963, ada peristiwa penting yang patut disampaikan. Pasalnya momen ini dipandang sebagai tonggak penguat perkembangan SH Terate. Yakni turunnya para pendekar SH Terate ke gelanggang adu bebas.
Gelanggang adu bebas pada tahun enampuluhan nerupakan event bergengsi, bagi pendekar persilatan di Madiun dan sekitarnya. Event ini merupakan arena pertandingan kelas laga yang diatur dengan sistem full body contact. Boleh dibilang event ini, merupakan ajang uji kanuragan para pendekar pilih tanding yang diatur dengan sistem pertandingan (ada wasit pertandingan) dan ditonton orang banyak.
Dulu selain dijadikan ajang olah kanuragan dan adu kesaktian, even yang digelar setahun sekali di halaman Kabupaten Madiun ini, juga dijadikan media promosi perguruan pencak silat untuk menggaet peminat. Perguruan pencak silat yang berhasil memenangkan pertandingan jumlah muridnya pasti akan semakin banyak. Saat itu, RM Imam Koesoepangat jadi jagonya SH Terate disamping Parno Ramelan, dan Sudarso
Di arena laga bebas itu Mas Imam berhadapan dengan Kyai Soekoco dari SH Tuhu Tekad – Sewulan, Dagangan. Seorang pendekar yang dikenal digdaya dengan postur tubuh yang jauh lebih tinggi jika dibanding dengan Mas Imam. Selain itu Kyai Soekoco juga dikenal pendekar pilih tanding dan berpengalaman serta beberapa kali memenangkan even adu bebas.
Awalnya sejumlah tokoh SH Terate meragukan kemampuan Mas Imam. Tapi terbukti beliau berhasil mematahkan keragu-raguan saudara-saudara SH Terate. Pada awal-awal pertandingan berlangsung seru, kedua pendekar bertanding cukup imbang. Beberapa kali tendangan dan pukulan Mas Imam mengenai tubuh Kyai Soekoco cukup telak, namun Kyai Soekoco hanya senyum saja, pertanda Kyai Soekoco seorang pendekar yang kebal. Memasuki babak akhir Mas Imam berhasil mengunci tubuh Kyai Soekoco, saat itu juga Mas Imam berteriak agar wasit melakukan perhitungan. Meski Kyai Soekoco berupaya melepaskan diri dari kuncian namun tak berhasil. Akhirnya wasit memutuskan pertandingan dimenangkan oleh Mas Imam.
Tahun 1965, Mas Imam menjadi Ketua Banteng Dwikora. Namun beliau berpesan pada Mas Tarmadji, bahwa keikutsertaan beliau dalam dunia politik praktis dan menjabat sebagai ketua Banteng Dwikora sudah masuk wilayah pribadi dan beliau sendiri tidak membawa SH Terate ke dalam pilihan ideologi politiknya.
TAHUN 1965
Pada tanggal 11 Agustus 1966 diselenggarakan Rapat Pengurus Pusat SH Terate di Madiun. Dalam Rapat tersebut menghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut (berdasar dokumen SH Terate Pusat No. 006/Sec/SHT/66) :
1. Refresing Pengurus Pusat dan Cabang-Cabang
Dengan timbulnya peristiwa G 30 S, maka Pimpinan Pusat SH Terate perlu untuk mengadakan refresing pengurus baik di Pusat maupun di cabang-cabang. Dengan demikian SH Terate tetap mengabdi pada Negara dan bebas dari segala unsur-unsur politik yang mengganggu jalannya Revolusi Indonesia. Susunan Pengurus Pusat yang baru, sambil menunggu Konggres yang akan datang, yaitu sebagai berikut :
Ibu SH Terate : Ibu Hardjo Oetomo
Ketua I : Bpk Soetomo Mangkoedjojo
Ketua II : Bpk Harsono
Ketua III : Sdr. RM. Imam Kussupangat
Sekretaris I : Sdr. Koeswanto B.A.
Sekretaris II : Sdr. Kadarmanto
Bendahara I : Bpk Hadi Soebroto
Bendahara II : Bpk Hardjo Wagiran
Pelatih Pusat : Bpk Badini
Bpk Harsono
Sdr. RM Imam Kussupangat
Pembantu Umum : Bpk Soenardi
Sdr. Soenarso
Sdr. Soediro
Dewan Pengesah : Bpk Darussalam
Bpk Soetomo Mangkudjojo
Bpk J. Darsono
Bpk Hardjo Giring
Bpk Hadi Soebroto
2. Instruksi kepada Cabang-Cabang
1. Tiap-tiap cabang diharuskan mengadakan refresing Pengurus cabang dalam waktu yang sesingkatnya.
2. Tiap-tiap diharuskan mengirimkn daftar Pengurus/ anggota baik yang belum disyahkan maupun yang sudah disyahkan.
3. Pusat akan mengirimkan “Belletin” kepada cabang untuk memberi bimbingan seperlunya.
4. Tiap-tiap cabang diharuskan mengirimkan rencana kerjanya masing-masing.
3. Rencana Kerja Pusat
Dalam waktu yang singkat SH Terate Pusat akan menerbitkan Majalah SH Terate yang isinya sebagai berikut :
a. Kebatinan SH/ sejarah SH
b. Teknik Pembelaan Diri
c. Cerita pendek perjuangan (bersambung)
d. Berita keluarga
e. Apa dan siapa
Untuk mengisi/ menambah isi MAJALAH tersebut, Dewan Redaksi Majalah tersebut memohon kepada Cabang-cabang untuk mengirimkan karya-karyanya, sajak-sajak/ puisi, cerita-cerita, berita keluarga, termasuk perkawinan, kematian dsb.
Selambat-lambatnya pengiriman karangan harus sudah di meja redaksi dengan alamat: Sdr. Kadarmanto, Jl. Husein Sastranegara No. 4 Madiun dan sudah harus diterima pada tanggal 7 tiap bulannya.
TAHUN 1967
Tahun 1967 RM Imam Kussupangat mesu budi (tirakat atau laku ikhtiar), melakukan puasa selama 7 (tujuh) hari tujuh malam di dalam kamar. Kecintaan beliau pada SH Terate mendorong Mas Imam meninggalkan kesenangan pribadi dan gemar melakukan tirakatan.
Sebelum masuk ke dalam kamar, Mas Imam meminta Mas Tarmadji menjaga di depan pintu. Saat itu beliau berpesan kalau di hari ke-7 (tujuh) beliau tidak keluar, maka Mas Tarmadji diminta mendobrak pintu kamar dan masuk ke dalam.
Tepat pada hari ke-7, Mas Imam keluar kamar dengan sempoyongan. Dengan suara terbata-bata, beliau meminta Mas Tarmadji mencarikan air kunir asam untuk minum. Beberapa saat setelah meminum air kunir asam, beliau berkata, “Njenengan eling-eling dik, njenengan titeni, mbenjing titi wancine SH Terate ageng Dik. Ning kulo mboten nemoni. Mbenjing sing nemoni Dik Madji. Sing mimpin njih Dik Madji. Ageng Dik, ngluwihi paguron-paguron liyane”. (Kamu ingat-ingat ya Dik. Kamu perhatikan. Besok jika sudah sampai waktunya, SH Terate bakal berkembang pesat menjadi besar. Tapi saya tidak menjumpainya. Besok yang menjumpi Dik Madji. Yang memimpin juga Dik Madji. SH Terate besar Dik, melebihi perguruan-perguruan (pencak silat) lainnya). Mendengar ungkapan tersebut Mas Tarmadji hanya diam, dan tidak begitu paham apa maksud ungkapan Mas Imam tersebut. “Saat itu, saya berpikir Mas Imam berkata seperti itu hanya untuk membesarkan hati saya”, ujar Mas Tarmadji.
Hari-hari berikutnya, Mas Tarmadji sering diajak menemani Mas Imam laku tirakat. Banyak lokasi yang dikunjungi, dari Segoro Kidul (Pantai Selatan), Hargo Dumilah di Puncak Gunung Lawu hingga Gunung Srandil. (Maksud dari tirakat tersebut adalah bagaimana manusia dapat berani dan kuat melawan diri dari kelelahan, kecapekan, rasa ingin menyerah/ putus asa. Yang mana dalam kehidupan yang nyata nanti manusia akan dihadapkan dalam realita tantangan hidup yang lebih besar lagi dan bagaimana kita menyadari bahwa sebenarnya musuh yang terbesar adalah nafsu ada dalam diri kita masing-masing-red).
Terkait dengan laku tirakat (tapa brata) yang dilakukan RM Imam Kussupangat, adalah laku pribadi, pengayaan keilmuan pribadi Mas Imam sendiri dan beliau tidak pernah memaksakan diri untuk memasukkan ke dalam kurikulum pelajaran SH Terate.
TAHUN 1974
Tahun 1974 Bapak Soetomo Mangkudjojo menyelesaikan masa bhaktinya sebagai Ketua SH Terate. Perkembangan SH Terate mulai melebar keluar wilayah Madiun. Tercatat 5 Cabang yang telah didirikan :
1. Cabang Surabaya, Jawa Timur dipimpin oleh Bapak Richard Wahyudi
2. Cabang Mojokerto, Jawa Timur
3. Cabang Magetan, Jawa Timur
4. Cabang Solo, Jawa Tengah dipimpin oleh Bapak Ir. Soekamto
5. Cabang Yogyakarta,
Satu momentum penting yang dilahirkan pada periode kepemimpinan Pak Soetomo Mangkudjojo ini adalah proses pembaruan menuju perubahan yang lebih baik. Sebuah proses yang diakui menjadi pondasi perkembangan SH Terate, yang semula berbentuk perguruan menjadi organisasi persaudaraan.
Tahun 1974 digelar Konggres Persaudaraan Setia hati Terate di Madiun. Hasilnya menjunjung tinggi konsep persaudaraan sebuah roh organisasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di intern SH Terate. Konggres juga sepakat :
1. Mengangkat RM Imam Koessupangat sebagai Ketua Umum Pusat dan Bapak Soetomo Mangkudjojo sebagai Ketua Dewan Pusat.
2. Menjadikan kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan selanjutnya dapat disuarakan lewat wakilnya dalam setiap konggres.
3. SH Terate berikrar : Barangsiapa mengganggu gugat Pancasila, seluruh Keluarga Besar Persaudaraan Setia Hati Terate siap mempertahankan Pancasila sebagai Dasar negara RI, sampai titik darah penghabisan.
Pada hari Minggu, tanggal 14 Desember 1975, Bapak Soetomo Mangkudjojo wafat. Jenazah beliau dimakamkan di tempat pemakaman Cangkring, Kota Madiun. Lokasi makam ini sekitar 500 meter sebelah barat Stadion Wilis, Kota Madiun.
TAHUN 1977
Pada tahun 1977, SH Terate Pusat kembali menggelar Konggres SH Terate di Madiun. Dalam Konggres memutuskan Bapak Badini menjabat sebagai Ketua Umum SH Terate Pusat, dan RM Imam Koessupangat menjabat sebagai Ketua Dewan Pusat. Sebagai Ketua Dewan Pusat setiap Pengesahan Warga Baru Mas Imam selalu dipasrahi untuk memimpin acara.
Pada periode ini, KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, S.E. mulai diserahi amanah menduduki jabatan di kepengurusan Pusat sebagai Ketua I.
Pak Badini dikenal sebagai pendekar SH Terate yang berbakat dalam permainan tunggal (solospel). Gerakannya matang, luwes, indah dan berisi. Saat menjadi Ketua Umum SH Terate, beliau masih tetap mau turun ke bawah, ikut melatih siswa maupun warga yang ingin menguasai permainan pencak silat seni SH Terate.
Saat Ir. Soekarno masih menjabat Presiden RI, Pak Badini berpasangan dengan Bapak Hardjo Mardjut dipanggil ke Istana Negara di Jakarta untuk memperagakan pencak silat seni.
TAHUN 1978
Pada tahun 1978 SH Terate sempat mengalami defisit kas organisasi. Bahkan punya tanggungan hutang. Berdasarkan kesepakatan pengurus pusat, Mas Tarmadji yang saat itu menjabat sebagai Ketua I, diminta mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah ini.
Mengemban amanat pengurus pusat, Mas Tarmadji mengajukan sejumlah alternatif yang diyakini bisa dijadikan solusi. Salah satunya mengusulkan perubahan uang mahar pengesahan yang tadinya berupa uang mahar yang sudah tidak laku (uang ketengan/benggolan), menjadi uang laku yang digunakan Pemerintah RI.
Berdasarkan keterangan dari sejumlah tokoh SH Terate, dulu jika calon warga membutuhkan uang logam ketengan/benggolan untuk mahar, mereka bisa mendapatkan dari Ibu Inem Hardjo Oetomo. Caranya menukar uang logam lama itu dengan uang baru yang masih berlaku. Selain digunakan untuk mendukung kegiatan SH Terate, hasil penukaran uang mahar itu juga digunakan untuk membantu kehidupan Ibu Hardjo Oetomo, sebagai bentuk penghargaan atas jasa Bapak Hardjo Oetomo mendirikan perguruan pencak silat SH Terate.
Usulan Mas Tarmadji merubah uang mahar ini semula dianggap kontroversional dan memancing perbedatan di kalangan pengurus SH Terate Pusat. Banyak tokoh yang kurang sependapat. Malah beliau sempat dipanggil sejumlah tokoh SH Terate di Surabaya. Antara lain Darmo Sanjoto, Ricard Wahyudi, Maryono, dan Isoyo, Mas Tarmadji diminta memberikan alasan atas usulan itu.
Di hadapan tokoh tersebut, dijelaskan alasan mendasar kenapa beliau berani mengajukan usulan penggantian uang mahar dari yang tadinya uang logam yang tidak laku menjadi uang logam yang laku. Alasan mendasar usulan tersebut adalah bahwa SH Terate sudah memproklamirkan dirinya dari perguruan pencak silat tradisional menjadi organisasi modern. Dengan adanya kesepatan ini, berarti SH Terate bukan lagi milik perorangan, tapi milik anggota. Karena SH Terate sudah berbentuk organisasi modern maka organisasi harus bisa mandiri dan memiliki uang kas yang cukup untuk membiayai kegiatannya. Apalagi tantangan ke depan bukan semakin kecil tapi semakin besar. Kegiatan yang diprogramkan organisasi juga semakin banyak dan bercakupan luas.
Perihal santunan untuk membantu perekonomian keluarga mendiang Ki Hadjar Hardjo Oetomo, Mas Tarmadji bersedia bertanggung jawab penuh. Dan janji itu benar dilaksanakan. Tak hanya sewaktu Ibu Hardjo Oetomo masih hidup, tanggung jawab menghargai jasa keluarga pendiri SH Terate itu juga terus dilakukan sepeninggal Ibu Hardjo Oetomo. Misalnya untuk membiayai acara kirim doa, dan memperingati hari wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo maupun Ibu Hardjo Oetomo.
Alasan yang diajukan Mas Tarmadji, terbukti mampu meyakinkan tokoh SH Terate. Sejak saat itu uang mahar yang digunakan calon warga baru (Warga Tingkat I) dalam prosesi pengesahan diganti uang logam yang laku. (Ketika itu uang mahar pengesahan yang digunakan adalah Rp 100,- x 36 dan mulai tahun 2003 uang mahar diganti Rp 1.000,- x 36-red)
Usulan tersebut membawa dampak yang positif bagi perkembangan SH Terate. Bersumber dari uang mahar ini pula, sampai sekarang SH Terate bisa mandiri dan mampu membangun Padepokan Agung SH Terate di Jl. Merak, Nambangan Kidul, Kota Madiun, berikut sarana dan prasarananya.
TAHUN 1979
SH Terate Pusat Madiun menggelar Krida Nasional “SH Terate Cup I” di Madiun. Keluar sebagai Juara Umum dalam kejuaraan pencak silat tersebut adalah Persaudaraan Setia Hati Terate Cabang Solo.
TAHUN 1981
Tahun 1981 sebelum menggelar Musyawarah Besar, SH Terate Pusat kembali menggelar Krida Nasional “SH Terate Cup II” di Solo. Dalam upacara pembukaan even tersebut dibuka oleh Pangdam VII/ Diponegoro. SH Terate Cabang Ngawi menyabet Juara Umum I, SH Terate Cabang Solo memperoleh Juara Umum II.
TAHUN 1922
Cikal bakal Setia Hati Terate adalah Setia Hati Pemuda Sport Club, perguruan pencak silat yang didirikan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo (1890 - 1952), warga Desa Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, pada tahun 1922.
Beliau merupakan murid dari Ki Ngabehi Soerodiwirjo (1869-1944), pendiri aliran pencak silat Setia Hati (SH – lebih dikenal SH Winongo), yang berpusat di Desa Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun (sampai saat ini kegiatan SH Winongo masih eksis dan seluruh kegiatannya dipusatkan di rumah/panti peninggalan Ki Ngabehi Soerdiwirjo).
Desa Pilangbango pada era pemerintahan Kolonial Belanda merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Wungu, Madiun (sekarang Desa Pilangbango berubah status menjadi kelurahan, masuk wilayah Kecamatan Kartoharjo).
Pada awal perintisan SH PSC hanya berupa latihan pencak yang diikuti oleh sejumlah pemuda dan teman seperjuangan Pak Hardjo Oetomo. Berbekal ilmu pencak silat Djojo Gendilo Ciptomuljo, ciptaan Ki Ngabehi Soerodiwirjo saat beliau berguru di SH Winongo (Bapak Hardjo Oetomo dikecer di SH Winongo tahun 1917), beliau mengumpulkan pemuda setempat untuk digembleng ilmu kanuragan. Latihan pencak silat yang digelar Pak Hardjo Oetomo saat itu secara implisit (sembunyi-sembunyi) diformat sebagai ajang pembekalan (basis) pemuda untuk melawan penjajahan Belanda. (berdasar dokumen yang dimiliki KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, S.E.).
Jiwa patriotisme yng tertanam di dalam dada Pak Hardjo Oetomo tidak rela tanah air tercinta dijajah bangsa lain. Demi memenuhi dharma bhakti kepada bumi pertiwi. Setelah membuka tempat latihan di Pilangbango, beliau juga membuka tempat latihan pencak silat di daerah lain, seperti Loceret, Nganjuk, Pare, kediri dan beberapa kota lain di Jawa Timur. Beliau membuka latihan pencak silat dengan niat mulia. Yakni mengembangkan ilmu pencak SH ke masyarakat kecil (rakyat jelata) dan para pejuang perintis kemerdekaan. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan bahwa ilmu pencak SH hanya diajarkan kepada kaum bangsawan dan pangreh projo (pegawai pemerintahan Belanda)saja, seperti kerabat Bupati, Wedana, Mantri Polisi dan masyarakat berdarah biru (kaum bangsawan- dalam stratafikasi sosial masyarakat Jawa, komunitas kaum bangsawan ini biasanya bergelar Raden (R), Raden Mas (RM), Raden Ajeng (RA), Raden Bagus (RB) di depan namanya ). (berdasar sumber dari catatan pribadi (buku harian) yang ditulis sendiri oleh Bapak Hardjo Oetomo)
Sejumlah dokumen menyebutkan, terdapat beberapa alasan mendasar yang memantik niat Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka tempat ltihan dan mendirikan perguruan pencak silat baru. Yakni terjadi silang pendapat yang cukup prinsip antara beliau dengan Ki Ngabehi Soerodiwirjo.
Selain alasan tersebut, Ki Hadjar Hardjo Oetomo tidak sependapat jika ilmu SH diajarkan kepada anak-anak Belanda (sinyo). Sebab hal itu bertentangan dengan prinsip beliau, yang ingin menjadikan pencak silat, sebagai basis pelatihan pemuda pribumi dalam rangka menyusun kekuatan melawan penjajah Belanda.
Ditengarahi, lantaran keberanian Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka tempat latihan baru ini, beliau dan muridnya sempat diolok-olok sebagai kelompok “SH Murtad”, artinya tidak setia (ingkar).
TAHUN 1924
Bapak Hardjo Oetomo baru memberikan nama latihan pencak silat yang didirikan itu pada tahun 1924, dengan nama Setia Hati Pemuda Sport Club. Nama itu disingkat oleh beliau sendiri dengan singkatan SH PSC. Hal itu terjadi setelah beliau bertemu dan berdiskusi dengan Amin Kuseri, seorang guru Sekolah Rakyat (SR) di Pare, Kediri. Di tempat ini, beliau juga sempat membuka tempat latihan.
Dalam buku hariannya, beliau menandaskan sekalipun pemberian nama perguruan pencak silat SH PSC terjadi di Pare, kediri, pusatnya tetap di Pilangbango, Madiun, kediaman beliau.
Tradisi komunikasi sosial yang dikembangkan di awal berdirinya SH PSC adalah “paguron” (perguruan pencak silat), dengan sistem kepemimpinan yang menempatkan sosok patron (tokoh) atau guru berada pada posisi puncak (pucuk pimpinan).
Kegiatan SH PSC diawasi dengan ketat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda karena mengajarkan pencak silat, walau latihan pencak silat sudah dilakukan secara sembunyi –sembunyi.
Tahun 1924 ini pula Bapak Hardjo Oetomo ditangkap oleh Belanda karena melakukan gerakan menantang Pemerintahan Kolonil Belanda di Madiun dan beliau dihukum selama tiga bulan. Hukuman itu dijalankan di penjara Talang, Jember. (catatan singkat sejarah perjuangan yang ditulis oleh istri beliau Ibu Inem Hardjo Oetomo).
Berdasar catatan tersebut, berarti beliau ditangkap dan dipenjara Kolonialis setelah mendirikan SH PSC di Pare, Kediri.
Setelah keluar dari penjara talamng, jember, ternyata semangat Pk Hardjo Oetomo dalam gerkan perintisan kemerdekaan semakin berkobar. Aksinya ini menjadikan pemerintah Kolonial Belanda semakin berang.
Tahun 1925, Bapak Hardjo Oetomo ditangkap lagi dan dipenjara selama 6 bulan. Istri beliau saat itu juga ikut ditangkap dan dibawa ke Bereau Velpolitie. Tapi dipulangkan lagi setelah menjalani interogasi dan menandatangani berkas perkara pemeriksaan.
Selang tiga bulan berda di penjara Pemerintahan Belanda, beliau dipanggil dan dibawa ke pengadilan (landraad) Belanda dengan tuduhan merencanakan aksi pemogokan dan menentang kebijakan pemerintah kolonial di dalam penjara. Sidang majlis hakim Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan Bapak Hardjo Oetomo bersalah divonis hukuman penjara selama 5 tahun.
Vonis penjara 5 tahun itu dijalankan setelah Bapak hardjo Oetomo menyelesaikan masa hukuman enam bulan di tlang, jember. Berdasarkan putusan itu pula beliau dipindahkan dari penjara talang, jember ke penjara Cipinang, Jakarta Timur.
Dua tahun berada dalam penjara Cipinang, Bapak Hardjo Oetomo, kembli melakukan gerakan melawan kebijakan penjajah. Karenanya Pemerintah Kolonial belanda mengambil langkah mengasingkan beliau ke penjara Padang Panjang, Sumatera Barat.
Catatan itu juga menyebutkan, beliau sebenarnya sudah masuk dalam deretan nama-nama pejuang Perintis Kemerdekaan RI yang akan dibuang ke Boven, Digul. Tapi hukuman itu urung dijalankan karena beliau sudah menjalani hukuman selama 3 tahun di penjara Padang Panjang.
Catatan ringkas perjalanan SH Terate yang dibuat oleh bapak Jendro Dharsono, menyebutkan sekembali dari penjara Padang Panjang kehidupan Bapak Hardjo Oetomo cukup menderita. Untuk menopang kehidupan rumah tangga, beliau sempat berganti-ganti profesi. Antar lain menjadi mandor pabrik tenun, bahkan pernah menjadi wartawan dan menerbitkan media massa (surat kabar/koran). Surat kabar yang didirikan oleh Bapak Hardjo Oetomo berbentuk mingguan (tabloid) yang diberi nama “Keinsyafan Rakjat”. Di media masaa ini beliau menjabat sebagai Pimpinan redaksi.
Tetapi tidak lama kemudian, mingguan Keinsyafan Rakjat dibredel (dilarang terbit) oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Alasannya media massa tersebut dijadikan alat propaganda pergerakan menentang penjajahan di tanah air tercinta.
Setelah upaya pembredelan tabloid tersebut, gerak gerik Bapak Hardjo Oetomo terus diawasi. Bahkan untuk memperketat pengawasan, pemerintah Kolonial Belanda mendirikn pos penjagaan di depan rumah beliau di Pilangbango.
Memasuki tahun 1938, kondisi fisik Bapak Hardjo Oetomo ( + beliau berusia 48 tahun) mulai menurun. Beliau menderita sakit stroke dan separo badannya tak bisa digerakkan. Karena keterbatasan itu, kegiatan SH PSC diamanatkan kepada sejumlah muridnya. Konsep kepemimpinan kolektif mulai dikembangkan, guna mengisi kevakuman posisi pimpinan.
TAHUN 1942
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942, SH PSC berganti nama menjadi Setia Hati Terate (SH Terate). Nama ini merupakan usulan Soeratno Sorengpati, tokoh perintis kemerdekaan daei Indonesia Muda, salah seorang siswa SH Terate saat itu. Salah satu alasan yang mendasari pergantian nama itu, adalah agar SH PSC tidak lagi dicap sebagai pemberontak seperti zaman penjajahan Belanda.
Sekalipun sudah berubah nama menjadi SH Terate, konsep komunikasi yng dikembangkan di kalangan warga SH Terate, pada era itu masih tetap memakai konsep “peguron” (perguruan) pencak silat. Hirarki kepemimpinan masih dipegang guru, dalam hal ini Bapak Hardjo Oetomo.
TAHUN 1948
Atas izin Bapak Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar konferensi (Musyawarah Antar Warga SH Terate) di kediaman beliau di Pilangbango, Madiun. Sejumlah murid beliau tampil ke depan. Antara lain Bapak Soetomo Mangkoedjojo, Bapak Jendro Dharsono, Bapak Soemadji, Bapak Badini, Bapak Moch. Irsyad. Saat itu Bapak Hardjo Oetomo dalam keadaan sakit (separo badannya tidak dapat digerakkan).
Musyawarah tersebut melahirkan mufakat, bahwa kegiatan SH Terate harus tetap berjalan dan berkembang. Karena Bapak Hardjo Oetomo tidak dapat melakukan aktivitas, kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid-muridnya. Kemudian digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni, dari sistem “Perguruan pencak Silat” ke sistem Organisasi Persaudaraan.
Pada tahun 1950 Bapak Hardjo Oetomo mendapat pengakuan dan penghargaan dari pemerintah RI sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI. Penghargaan ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda.
TAHUN 1952
Pada hari Sabtu, tanggal 12 April 1952 Bapak Hardjo Oetomo wafat dalam usia + 62 tahun, dan jenazahmya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kelurahan Pilangbango, Madiun.
Bapak Hardjo Oetomo meninggalkan seorang istri, Ny. Inem dan dua orang putra yang diberi nama Harsono dan Harsini. Bapak Harsono juga merupakan warga SH Terate terakhir beliau aktif di SH Terate Cabang Surabaya menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Cabang. Beliau wafat tahun 2000 di rumah puteri kemenakan beliau di Jl. Tambak Mayor Surabaya. Saat pelepasan jenazah beliau diantar oleh Mas Aliadi Ika (Ketua SH Terate Cab. Surabaya) dan keberangkatan jenazah ke Madiun diiringi Warga SH Terate, sesampai di Pilangbango, jenazah beliau diterima oleh Mas Tarmadji selaku Ketua Umum Pusat, yang selanjutnya dimakamkan di pemakaman yang sama dengan ayahanda beliau. Sedang Ibu Harsini bersuamikan Warga SH Terate yang bernama Bapak Gunawan Pamudji, (beliau berdua juga sudah wafat).
Keberadaan Bapak Hardjo Oetomo sebagai pendiri, sekaligus pelatih atau guru pencak silat, menduduki posisi patron. Karena posisi beliau ini, beliau disegani dan sangat dihormati oleh murid-muridnya. Sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kepada beliau murid-muridnya memberi gelar “Ki Hadjar” (diambil dari akar kata dalam bahasa Jawa “ajar” yang artinya pelatih, pendidik, pengajar). Dalam perkembangannya, nama pendiri SH Terate disebut lengkap dengan gelarnya, yakni Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
MASA TRANSISI (Tahun 1953 – 1980)
Pasca wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo, kegiatan SH Terate diteruskan para muridnya. Jumlah anggota yang ikut bergabung, satu demi satu mulai bertambah searah perjalanan waktu.
Era kemerdekaan bergulir pelan tapi pasti dan kegiatan SH Terate yang pada masa Kolonial diawasi dan dibatasi, telah berubah menjadi leluasa dan bebas. Ruang gerak warga masyarakat dalam mengembangkan kreativitas, terbuka lebar. Belenggu kolonialisme tak ada lagi, berganti era harapan baru untuk berjuang demi mengisi kemerdekaan.
Sejalan dengan itu, mulai muncul pemikiran tentang format penataan program kegiatan di dalam SH Terate. Posisi “guru” atau pemimpin SH Terate yang vakum setelah Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat, sudah selayaknya diisi.
Gagasan perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate yang pernah dibicarakan dalam konferensi di Pilangbango tahun 1948, semakin mengerucut. Puncaknya pada tanggal 13 September 1953, dengan digelarnya Konferensi/ Rapat Permusyawaratan Warga SH Terate di Jl. Diponegoro No. 45 Madiun, kediaman Bapak Soetomo Mangkoedjojo (1908-1975).
Rapat Permusyawaratan Warga/ Konferensi SH Terate saat itu menghasilkan sejumlah keputusan penting, antara lain :
1. Menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) SH Terate yang pertama
2. Menetapkan susunan Pengurus SH Terate Pusat di Madiun, yaitu :
Ketua : R.M. Soetomo Mangkoedjojo
Penulis I : R. Soemadji
Penulis II : S. Hadi Soebroto
Bendahara : Bambang Soedarsono
Pembantu : Karsono dan Harsono
Pelatih : Santoso dan Badini
3. Untuk menghargai jasa Bapak Hardjo Oetomo yang telah berjuang mendirikan perguruan pencak silat ini, SH Terate memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan Ki Hadjar.
4. Istri Bapak Hardjo Oetomo, Ibu Inem Hardjo Oetomo diposisikan sebagai Ibu SH Terate.
5. Sementara itu untuk mengefektifkan program latihan pencak SH Terate, Bapak Santoso dan Pak Badini ditunjuk sebagai pelatih.
Mengapa langkah pembaharuan itu ditempuh? Alasannya pertama agar SH Terate mempu mensejajarkan kiprahnya dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai komunitas yang melingkupinya. Dengan adanya perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate dari “paguron” menjadi organisasi yang bertumpu pada sistem “persaudaraan”, berarti gaung pembaharuan telah diluncurkan dan proses perubahan telah digelar. Yakni perubahan roh organisasi dari sistem tradisional ke sistem organisasi modern. Dengan konsep ini, kelak SH Terate diharapkan mampu menjawab tantangan kehidupan yang semakin kompleks.
Alasan kedua; agar SH Terate tidak dikuasai dan bergantung pada perorangan saja, sehingga kelangsungan hidup organisasi dan kelestariannya lebih terjamin.
Meski roh organisasi sudah bergeser dari perguruan pencak silat berubah menjadi organisasi persaudaraan, namun dalam konsepsi keilmuan (idealisme), tradisi paguron masih tetap dipertahankan. Ini mengingat bahwa SH Terate lahir dari akar budaya pencak silat yang tetap ngugemi prinsip-prinsip patrialisme.
Lain kata konsepsi demokratisasi lebih dikedepankan dalam penataan organisasi. Sementara dalam prosesi pewarisan keilmuan, tradisi paguron atau perguruan pencak silat masih dipegang teguh oleh tokoh-tokoh SH Terate. Dan ini harus diakui terus dipertahankan turun-temurun, hingga era kepemimpinan RM Imam Koessoepangat dan era kepemimpinan KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, S.E. Sebab berdasarkan kajian empiris, tradisi paguron ini justru merupakan roh yang memberikan kekuatan nilai-nilai persaudaraan dan ke-Setia Hati-an (ke-SH-an).
Terpilihnya Bapak Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua Pusat SH Terate pada periode ini, merupakan pilihan yang tepat. Pak Tomo (panggilan akrab beliau) dikenal sebagai tokoh yang cukup arif dan bijaksana. Sosoknya tinggi, tegap dan berwibawa. Beliau juga setia dan tegas dalam mengambil keputusan, serta teguh dalam memegang prinsip. Satu lagi pandangannya cukup luas dan terbuka. Dibalik sosoknya yang tinggi dan tegap tersembunyi budi pekerti/ kesantunan beliau terhadap sesama.
TAHUN 1956
Di tahun 1956 dikarenakan Bapak Soetomo Mangkoedjojo pindah tugas dari BRI (Bank Rakyat Indonesia) Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin), jabatan Ketua SH Terate digantikan Bapak Moch. Irsyad. Sedangkan jabatan sekretaris dipegang oleh Bapak Soedarsono.
Pak Moch. Irsyad dikenal sebagai pendekar yang menguasai teknik beladiri yang cukup matang. Pada era kepemimpinan beliau ini, dilakukan penggalian teknik dan akurasi gerakan pencak silat. Gerakan, terutama pada serangan yang menurut keyakinannya lemah, dicoba untuk lebih diakurasikan.
Pendalaman, penelitian dan kajian yang dilakukan Pak Moch. Irsyad ini melahirkan sejumlah gerakan teknik yng kemudian dipakai untuk mengakurasikan bebrapa gerakan jurus SH Terate.
Pada saat Pak Moch. Irsyad menjadi Ketua Pusat, setelah beliau melakukan uji materi dan pendalaman akurasi jurus, lahir sejumlah temuan :
1. Beberapa gerakan jurus, sebut misalnya Jurus I sampai dengan Jurus IV, diakurasikan. Terutama pada gerakan serangan. Sebelumnya pukulan pada Jurus I (hitungan ke-4) adalah mbandul (pukulan menggunakan punggung tangan) diakurasikan menjadi menohok (upper cut). Kemudian gerakan colok yang semula hanya dengan dua jari (jari telunjuk dan jari tengah), diakurasikan dengan lima jari yang dirapatkan hingga makin bertenaga. Jurus 5 yang awalnya setelah pasang hanya gerakan tangkisan kaki, ditambah dengan gerakan tangkis pukul, gerakan jurus lain yang disempurnakan adalah Jurus 8, yaitu dengan perubahan pasangan nangkis dan tendangan dua kali.
2. Sementara untuk mendasari gerakan siswa SH Terate Pak Moch. Irsyad menciptakan gerakan senam dari senam 1 (satu) hingga senam 90 (sembilan puluh). Gerakan senam merupakan gerakan penggalan-penggalan jurus, untuk mendasari siswa mempermudah menggerakan dan menghafalkan jurus.
3. Pada era kepemimpinan Pak Moch. Irsyad ini juga lahir keputusan penting lainnya. Yakni, penciptaan Kode Pendekar SH Terate. Salah satu alasan penciptaan kode pendekar, karena jumlah Warga SH Terate saat itu sudah mulai banyak, sehingga di antara Warga mulai tidak saling mengenal karena beda tempat latihan dan pengesahan.
Dengan Kode pendekar SH Terate ini, seorang warga bisa melakukan deteksi secara akurat, apakah orang yang baru dikenal itu Warga SH Terate atau bukan. Kode Pendekar SH Terate yang diciptakan Pak Moch. Irsyad sampai sekarang masih digunakan dan diberikan kepada anggota SH Terate yang sudah disyahkan menjadi Warga.
Penciptaan senam dasar dan penyempurnaan jurus ini juga diyakini agar SH Terate tidak diperolok lagi sebagai SH Murtad oleh sekelompok orang yang merasa memiliki atau merasa sabagai ahli waris (trah) SH yang didirikan oleh Ki Ngabehi Soerodiwirjo. Salah seorang murid pak Moch. Irsyad yang langsung menerima pelajaran senam 1 sampai 90 dan pendalaman akurasi jurus adalah RM. Imam Koesoepangat (1938-1987).
RM Imam Koesoepangat yang lebih akrab dengan panggilan Mas Imam, mulai berlatih pencak silat di SH Terate tahun 1953 (saat berusia + 16 tahun). Selama lima tahun (dari tahun 1953-1958) beliau berlatih di bawah asuhan langsung Pak Moch. Irsyad (murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo) dan menerima langsung pendalaman teknik dan akurasi jurus serta senam dasar. Mas Imam disyahkan menjadi pendekar SH Terate Tingkat I pada tahun 1958 ketika berusia 20 tahun bersama Bapak Koeswanto, B.A., dan Bapak Harsanto. Pengesahan dilaksanakan di Oro-oro Ombo, Madiun kediaman Bapak Santoso, Dewan Pengesah Bapak Soetomo Mangkoedjojo.
Dalam perkembangannya, anak didik langsung Pak Moch. Irsyad yang satu ini, muncul sebagai tokoh yang cukup diperhitungkan.
TAHUN 1959
Tahun 1959, RM Imam Koesoepangat mulai melatih di Paviliun Kabupaten Madiun. Kediaman beliau terletak bersebelahan dengan Pendapa Kabupaten Madiun. Beliau adalah sosok pendekar yang santun dan berwibawa. Jika melatih siswanya, beliau disiplin, keras, dan tegas. Ucapan dan perilakunya konsisten, jika bilang A maka yang beliau lakukan juga A. Akan tetapi dibalik sikap keras beliau dalam melatih, beliau adalah sosok yang santun dan lembah manah, jika berbicara kepada murid-muridnya beliau memakai bahasa Jawa halus (boso kromo).
Selama Mas Imam melatih pencak silat, materi senam dan jurus yang diajarkan beliau adalah senam dan jurus yang sampai sekarang diajarkan kepada siswa SH Terate yangmana beliau pelajari dari Pak Moch. Irsyad. Dalam perkembangannya senam dan akurasi jurus yang pada era Pak Moch. Irsyad akhirnya dijadikan gerakan baku pencak silat SH Terate.
TAHUN 1960
Pada kisaran tahun 1960 Bapak Moch. Irsyad mengakhiri masa jabatannya sebagai Ketua SH Terate dan pindah tempat tinggal ke Bandung. Sebagai gantinya Bapak Santoso diangkat menjadi Ketua Pusat SH Terate.
Pada 27-28 April 1962 diselenggarakan persamaan Jurus SH Terate di Madiun yang dipimpin langsung oleh Pimpinan Pusat. Persamaan Jurus pada waktu itu mengenai Jurus Tingkat I (36 Jurus Tingkat I - SH Terate), sedang Jurus Tingkat II, dan Tingkat III tidak dipersoalkan.
Pada 29-30 September 1962 digelar Musyawarah SH Terate di rumah Bapak Santoso, Jln. Srigading 1 Madiun. Dalam Musyawarah tersebut merumuskan AD/ART SH Terate (12 Pasal Anggaran Dasar, 11 pasal Anggaran Rumah Tangga). Dalam AD/ART juga menetapkan lambang organisasi yaitu gambar hati putih bertepi merah dengan sinar putih di atas bunga teratai putih, yang dilukis pada dasar hitam yang tersirat kata-kata PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE di dalamnya. (berdasar dokumen buku “Pusaka Setia Hati Terate” yang diterbitkan oleh SH Terate Cabang Surabaya, 17 Oktober 1963).
Pada tahun 1963 untuk pertama kalinya dikumandangkan Mars SH Terate pada acara Pagelaran Seni Budaya di Gedung Bioskop Basuki Jl. Sulawesi (sekarang Tegel Dewasa). Syair mars SH Terate digubah oleh RM Imam Koesoepangat sedangkan aransemennya dikerjakan Ady Yasco (Adi Pracihno).
Saat itu Mas Imam berpesan “Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, pemersatu bangsa Indonesia. Kalau Pancasila dirubah, saya tidak rela dan akan mempertahankan bersama-sama dengan pendekar SH Terate”.
TAHUN 1963
RM. Imam Koesoepangat berhasil mengesahkan anak didik pertama. Yakni, Tarmadji, RM Abdullah Koesnowidjojo (Adik RM Imam Koessupangat), Soediro, Bibit Soekadi, Soedarso, Soedibyo, Soemarsono dan Bambang Tunggul Wulung. Dari kedelapan anak didik Mas Imam sampai saat ini, yang masih hidup tinggal Mas Tarmadji (Ketua Dewan Pusat) dan Mas Soedibyo (tinggal di Jakarta).
Perlu ditegaskan bahwa Mas Tarmadji adalah anak didik Mas Imam, sejak latihan sampai disyahkan pelajaran pencak silat Tingkat I yang dierima dari Mas Imam saat itu adalah pelajaran pencak yang telah disempurnakan pada era pak Moch. Irsyad. Yakni : Senam 1 sampai 90, Jurus yang sudah diakurasikan, sikap Pasangan, sambung persaudaran. Disela-sela pelajaran itu diberikan permainan krippen (kuncian), permainan toya. Terakhir dididik kerohanian (kebatinan). Kemudian berkembang lagi ada pelajaran ausdower (peningkatan fisik). Pelajaran-pelajaran tersebut istilahnya “ilmu kang aweh reseping ati” (ilmu yang memberi ketenangan batin). Sementara itu, bagi Saudara- Saudara/ Kadhang SH Terate yang mempelajari ilmu kebatinan dan kanuragan yang ibaratnya “ngelmu amrih dibacok ora tedas, ditembak lakak-lakak” (ilmu yang dipelajari agar kebal bacok/ilmu kekebalan, ditembak malah tertawa terbahak-bahak), tidak pernah dipermasalahkan dengan catatan ilmu yang dipelajari itu dipergunakan hanya untuk pengayaan keilmuan secara pribadi dan tidak dimasukkan ke dalam kurikulum pelajaran keilmuan di SH Terate.
Masih di tahun 1963, ada peristiwa penting yang patut disampaikan. Pasalnya momen ini dipandang sebagai tonggak penguat perkembangan SH Terate. Yakni turunnya para pendekar SH Terate ke gelanggang adu bebas.
Gelanggang adu bebas pada tahun enampuluhan nerupakan event bergengsi, bagi pendekar persilatan di Madiun dan sekitarnya. Event ini merupakan arena pertandingan kelas laga yang diatur dengan sistem full body contact. Boleh dibilang event ini, merupakan ajang uji kanuragan para pendekar pilih tanding yang diatur dengan sistem pertandingan (ada wasit pertandingan) dan ditonton orang banyak.
Dulu selain dijadikan ajang olah kanuragan dan adu kesaktian, even yang digelar setahun sekali di halaman Kabupaten Madiun ini, juga dijadikan media promosi perguruan pencak silat untuk menggaet peminat. Perguruan pencak silat yang berhasil memenangkan pertandingan jumlah muridnya pasti akan semakin banyak. Saat itu, RM Imam Koesoepangat jadi jagonya SH Terate disamping Parno Ramelan, dan Sudarso
Di arena laga bebas itu Mas Imam berhadapan dengan Kyai Soekoco dari SH Tuhu Tekad – Sewulan, Dagangan. Seorang pendekar yang dikenal digdaya dengan postur tubuh yang jauh lebih tinggi jika dibanding dengan Mas Imam. Selain itu Kyai Soekoco juga dikenal pendekar pilih tanding dan berpengalaman serta beberapa kali memenangkan even adu bebas.
Awalnya sejumlah tokoh SH Terate meragukan kemampuan Mas Imam. Tapi terbukti beliau berhasil mematahkan keragu-raguan saudara-saudara SH Terate. Pada awal-awal pertandingan berlangsung seru, kedua pendekar bertanding cukup imbang. Beberapa kali tendangan dan pukulan Mas Imam mengenai tubuh Kyai Soekoco cukup telak, namun Kyai Soekoco hanya senyum saja, pertanda Kyai Soekoco seorang pendekar yang kebal. Memasuki babak akhir Mas Imam berhasil mengunci tubuh Kyai Soekoco, saat itu juga Mas Imam berteriak agar wasit melakukan perhitungan. Meski Kyai Soekoco berupaya melepaskan diri dari kuncian namun tak berhasil. Akhirnya wasit memutuskan pertandingan dimenangkan oleh Mas Imam.
Tahun 1965, Mas Imam menjadi Ketua Banteng Dwikora. Namun beliau berpesan pada Mas Tarmadji, bahwa keikutsertaan beliau dalam dunia politik praktis dan menjabat sebagai ketua Banteng Dwikora sudah masuk wilayah pribadi dan beliau sendiri tidak membawa SH Terate ke dalam pilihan ideologi politiknya.
TAHUN 1965
Pada tanggal 11 Agustus 1966 diselenggarakan Rapat Pengurus Pusat SH Terate di Madiun. Dalam Rapat tersebut menghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut (berdasar dokumen SH Terate Pusat No. 006/Sec/SHT/66) :
1. Refresing Pengurus Pusat dan Cabang-Cabang
Dengan timbulnya peristiwa G 30 S, maka Pimpinan Pusat SH Terate perlu untuk mengadakan refresing pengurus baik di Pusat maupun di cabang-cabang. Dengan demikian SH Terate tetap mengabdi pada Negara dan bebas dari segala unsur-unsur politik yang mengganggu jalannya Revolusi Indonesia. Susunan Pengurus Pusat yang baru, sambil menunggu Konggres yang akan datang, yaitu sebagai berikut :
Ibu SH Terate : Ibu Hardjo Oetomo
Ketua I : Bpk Soetomo Mangkoedjojo
Ketua II : Bpk Harsono
Ketua III : Sdr. RM. Imam Kussupangat
Sekretaris I : Sdr. Koeswanto B.A.
Sekretaris II : Sdr. Kadarmanto
Bendahara I : Bpk Hadi Soebroto
Bendahara II : Bpk Hardjo Wagiran
Pelatih Pusat : Bpk Badini
Bpk Harsono
Sdr. RM Imam Kussupangat
Pembantu Umum : Bpk Soenardi
Sdr. Soenarso
Sdr. Soediro
Dewan Pengesah : Bpk Darussalam
Bpk Soetomo Mangkudjojo
Bpk J. Darsono
Bpk Hardjo Giring
Bpk Hadi Soebroto
2. Instruksi kepada Cabang-Cabang
1. Tiap-tiap cabang diharuskan mengadakan refresing Pengurus cabang dalam waktu yang sesingkatnya.
2. Tiap-tiap diharuskan mengirimkn daftar Pengurus/ anggota baik yang belum disyahkan maupun yang sudah disyahkan.
3. Pusat akan mengirimkan “Belletin” kepada cabang untuk memberi bimbingan seperlunya.
4. Tiap-tiap cabang diharuskan mengirimkan rencana kerjanya masing-masing.
3. Rencana Kerja Pusat
Dalam waktu yang singkat SH Terate Pusat akan menerbitkan Majalah SH Terate yang isinya sebagai berikut :
a. Kebatinan SH/ sejarah SH
b. Teknik Pembelaan Diri
c. Cerita pendek perjuangan (bersambung)
d. Berita keluarga
e. Apa dan siapa
Untuk mengisi/ menambah isi MAJALAH tersebut, Dewan Redaksi Majalah tersebut memohon kepada Cabang-cabang untuk mengirimkan karya-karyanya, sajak-sajak/ puisi, cerita-cerita, berita keluarga, termasuk perkawinan, kematian dsb.
Selambat-lambatnya pengiriman karangan harus sudah di meja redaksi dengan alamat: Sdr. Kadarmanto, Jl. Husein Sastranegara No. 4 Madiun dan sudah harus diterima pada tanggal 7 tiap bulannya.
TAHUN 1967
Tahun 1967 RM Imam Kussupangat mesu budi (tirakat atau laku ikhtiar), melakukan puasa selama 7 (tujuh) hari tujuh malam di dalam kamar. Kecintaan beliau pada SH Terate mendorong Mas Imam meninggalkan kesenangan pribadi dan gemar melakukan tirakatan.
Sebelum masuk ke dalam kamar, Mas Imam meminta Mas Tarmadji menjaga di depan pintu. Saat itu beliau berpesan kalau di hari ke-7 (tujuh) beliau tidak keluar, maka Mas Tarmadji diminta mendobrak pintu kamar dan masuk ke dalam.
Tepat pada hari ke-7, Mas Imam keluar kamar dengan sempoyongan. Dengan suara terbata-bata, beliau meminta Mas Tarmadji mencarikan air kunir asam untuk minum. Beberapa saat setelah meminum air kunir asam, beliau berkata, “Njenengan eling-eling dik, njenengan titeni, mbenjing titi wancine SH Terate ageng Dik. Ning kulo mboten nemoni. Mbenjing sing nemoni Dik Madji. Sing mimpin njih Dik Madji. Ageng Dik, ngluwihi paguron-paguron liyane”. (Kamu ingat-ingat ya Dik. Kamu perhatikan. Besok jika sudah sampai waktunya, SH Terate bakal berkembang pesat menjadi besar. Tapi saya tidak menjumpainya. Besok yang menjumpi Dik Madji. Yang memimpin juga Dik Madji. SH Terate besar Dik, melebihi perguruan-perguruan (pencak silat) lainnya). Mendengar ungkapan tersebut Mas Tarmadji hanya diam, dan tidak begitu paham apa maksud ungkapan Mas Imam tersebut. “Saat itu, saya berpikir Mas Imam berkata seperti itu hanya untuk membesarkan hati saya”, ujar Mas Tarmadji.
Hari-hari berikutnya, Mas Tarmadji sering diajak menemani Mas Imam laku tirakat. Banyak lokasi yang dikunjungi, dari Segoro Kidul (Pantai Selatan), Hargo Dumilah di Puncak Gunung Lawu hingga Gunung Srandil. (Maksud dari tirakat tersebut adalah bagaimana manusia dapat berani dan kuat melawan diri dari kelelahan, kecapekan, rasa ingin menyerah/ putus asa. Yang mana dalam kehidupan yang nyata nanti manusia akan dihadapkan dalam realita tantangan hidup yang lebih besar lagi dan bagaimana kita menyadari bahwa sebenarnya musuh yang terbesar adalah nafsu ada dalam diri kita masing-masing-red).
Terkait dengan laku tirakat (tapa brata) yang dilakukan RM Imam Kussupangat, adalah laku pribadi, pengayaan keilmuan pribadi Mas Imam sendiri dan beliau tidak pernah memaksakan diri untuk memasukkan ke dalam kurikulum pelajaran SH Terate.
TAHUN 1974
Tahun 1974 Bapak Soetomo Mangkudjojo menyelesaikan masa bhaktinya sebagai Ketua SH Terate. Perkembangan SH Terate mulai melebar keluar wilayah Madiun. Tercatat 5 Cabang yang telah didirikan :
1. Cabang Surabaya, Jawa Timur dipimpin oleh Bapak Richard Wahyudi
2. Cabang Mojokerto, Jawa Timur
3. Cabang Magetan, Jawa Timur
4. Cabang Solo, Jawa Tengah dipimpin oleh Bapak Ir. Soekamto
5. Cabang Yogyakarta,
Satu momentum penting yang dilahirkan pada periode kepemimpinan Pak Soetomo Mangkudjojo ini adalah proses pembaruan menuju perubahan yang lebih baik. Sebuah proses yang diakui menjadi pondasi perkembangan SH Terate, yang semula berbentuk perguruan menjadi organisasi persaudaraan.
Tahun 1974 digelar Konggres Persaudaraan Setia hati Terate di Madiun. Hasilnya menjunjung tinggi konsep persaudaraan sebuah roh organisasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di intern SH Terate. Konggres juga sepakat :
1. Mengangkat RM Imam Koessupangat sebagai Ketua Umum Pusat dan Bapak Soetomo Mangkudjojo sebagai Ketua Dewan Pusat.
2. Menjadikan kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan selanjutnya dapat disuarakan lewat wakilnya dalam setiap konggres.
3. SH Terate berikrar : Barangsiapa mengganggu gugat Pancasila, seluruh Keluarga Besar Persaudaraan Setia Hati Terate siap mempertahankan Pancasila sebagai Dasar negara RI, sampai titik darah penghabisan.
Pada hari Minggu, tanggal 14 Desember 1975, Bapak Soetomo Mangkudjojo wafat. Jenazah beliau dimakamkan di tempat pemakaman Cangkring, Kota Madiun. Lokasi makam ini sekitar 500 meter sebelah barat Stadion Wilis, Kota Madiun.
TAHUN 1977
Pada tahun 1977, SH Terate Pusat kembali menggelar Konggres SH Terate di Madiun. Dalam Konggres memutuskan Bapak Badini menjabat sebagai Ketua Umum SH Terate Pusat, dan RM Imam Koessupangat menjabat sebagai Ketua Dewan Pusat. Sebagai Ketua Dewan Pusat setiap Pengesahan Warga Baru Mas Imam selalu dipasrahi untuk memimpin acara.
Pada periode ini, KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, S.E. mulai diserahi amanah menduduki jabatan di kepengurusan Pusat sebagai Ketua I.
Pak Badini dikenal sebagai pendekar SH Terate yang berbakat dalam permainan tunggal (solospel). Gerakannya matang, luwes, indah dan berisi. Saat menjadi Ketua Umum SH Terate, beliau masih tetap mau turun ke bawah, ikut melatih siswa maupun warga yang ingin menguasai permainan pencak silat seni SH Terate.
Saat Ir. Soekarno masih menjabat Presiden RI, Pak Badini berpasangan dengan Bapak Hardjo Mardjut dipanggil ke Istana Negara di Jakarta untuk memperagakan pencak silat seni.
TAHUN 1978
Pada tahun 1978 SH Terate sempat mengalami defisit kas organisasi. Bahkan punya tanggungan hutang. Berdasarkan kesepakatan pengurus pusat, Mas Tarmadji yang saat itu menjabat sebagai Ketua I, diminta mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah ini.
Mengemban amanat pengurus pusat, Mas Tarmadji mengajukan sejumlah alternatif yang diyakini bisa dijadikan solusi. Salah satunya mengusulkan perubahan uang mahar pengesahan yang tadinya berupa uang mahar yang sudah tidak laku (uang ketengan/benggolan), menjadi uang laku yang digunakan Pemerintah RI.
Berdasarkan keterangan dari sejumlah tokoh SH Terate, dulu jika calon warga membutuhkan uang logam ketengan/benggolan untuk mahar, mereka bisa mendapatkan dari Ibu Inem Hardjo Oetomo. Caranya menukar uang logam lama itu dengan uang baru yang masih berlaku. Selain digunakan untuk mendukung kegiatan SH Terate, hasil penukaran uang mahar itu juga digunakan untuk membantu kehidupan Ibu Hardjo Oetomo, sebagai bentuk penghargaan atas jasa Bapak Hardjo Oetomo mendirikan perguruan pencak silat SH Terate.
Usulan Mas Tarmadji merubah uang mahar ini semula dianggap kontroversional dan memancing perbedatan di kalangan pengurus SH Terate Pusat. Banyak tokoh yang kurang sependapat. Malah beliau sempat dipanggil sejumlah tokoh SH Terate di Surabaya. Antara lain Darmo Sanjoto, Ricard Wahyudi, Maryono, dan Isoyo, Mas Tarmadji diminta memberikan alasan atas usulan itu.
Di hadapan tokoh tersebut, dijelaskan alasan mendasar kenapa beliau berani mengajukan usulan penggantian uang mahar dari yang tadinya uang logam yang tidak laku menjadi uang logam yang laku. Alasan mendasar usulan tersebut adalah bahwa SH Terate sudah memproklamirkan dirinya dari perguruan pencak silat tradisional menjadi organisasi modern. Dengan adanya kesepatan ini, berarti SH Terate bukan lagi milik perorangan, tapi milik anggota. Karena SH Terate sudah berbentuk organisasi modern maka organisasi harus bisa mandiri dan memiliki uang kas yang cukup untuk membiayai kegiatannya. Apalagi tantangan ke depan bukan semakin kecil tapi semakin besar. Kegiatan yang diprogramkan organisasi juga semakin banyak dan bercakupan luas.
Perihal santunan untuk membantu perekonomian keluarga mendiang Ki Hadjar Hardjo Oetomo, Mas Tarmadji bersedia bertanggung jawab penuh. Dan janji itu benar dilaksanakan. Tak hanya sewaktu Ibu Hardjo Oetomo masih hidup, tanggung jawab menghargai jasa keluarga pendiri SH Terate itu juga terus dilakukan sepeninggal Ibu Hardjo Oetomo. Misalnya untuk membiayai acara kirim doa, dan memperingati hari wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo maupun Ibu Hardjo Oetomo.
Alasan yang diajukan Mas Tarmadji, terbukti mampu meyakinkan tokoh SH Terate. Sejak saat itu uang mahar yang digunakan calon warga baru (Warga Tingkat I) dalam prosesi pengesahan diganti uang logam yang laku. (Ketika itu uang mahar pengesahan yang digunakan adalah Rp 100,- x 36 dan mulai tahun 2003 uang mahar diganti Rp 1.000,- x 36-red)
Usulan tersebut membawa dampak yang positif bagi perkembangan SH Terate. Bersumber dari uang mahar ini pula, sampai sekarang SH Terate bisa mandiri dan mampu membangun Padepokan Agung SH Terate di Jl. Merak, Nambangan Kidul, Kota Madiun, berikut sarana dan prasarananya.
TAHUN 1979
SH Terate Pusat Madiun menggelar Krida Nasional “SH Terate Cup I” di Madiun. Keluar sebagai Juara Umum dalam kejuaraan pencak silat tersebut adalah Persaudaraan Setia Hati Terate Cabang Solo.
TAHUN 1981
Tahun 1981 sebelum menggelar Musyawarah Besar, SH Terate Pusat kembali menggelar Krida Nasional “SH Terate Cup II” di Solo. Dalam upacara pembukaan even tersebut dibuka oleh Pangdam VII/ Diponegoro. SH Terate Cabang Ngawi menyabet Juara Umum I, SH Terate Cabang Solo memperoleh Juara Umum II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar